Mau Beli Mobil Listrik Kok Masih Mahal, Kenapa Ya?
Jakarta, CNBC Indonesia - PT VKTR Teknologi Mobilitas (VKTR) atau yang biasa disebut Vektor mengungkapkan sejumlah tantangan yang saat ini dihadapi pelaku industri elektrifikasi transportasi di tanah air. Direktur Utama VKTR Gilarsi W. Setijono mengungkapkan menyebut, beberapa di antaranya saling terkait, seperti teknologi yang masih dini dan minimnya pilihan kendaraan listrik di pasaran.
Disamping itu, infrastruktur pendukung seperti SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum) juga belum disiapkan. Ketiga faktor tersebut turut mempengaruhi harga akhir yang masih relatif tinggi.
"Faktor-faktor itu akhirnya membuat masyarakat kita merasa bahwa kendaraan listrik saat ini belum terlalu dibutuhkan," kata Gilarsi dalam keterangan resminya, Rabu (30/11/2022).
Meskipun demikian, menurutnya, industrialisasi kendaraan listrik tersebut harus dibangun dan dikembangkan di Indonesia. Sebab, saat ini yang terjadi di seluruh dunia, elektrifikasi memang menjadi salah satu yang diandalkan menjadi industri inti masa depan.
"Tantangannya adalah, beberapa hal mendasar perlu disiapkan terlebih dahulu seperti regulasi standar kendaraan listrik yang idealnya dapat segera diterbitkan Pemerintah, dalam waktu yang tidak terlalu lama", tuturnya.
Ia memaparkan, untuk mempercepat tumbuhnya industri ini memang diperlukan serangkaian ketentuan yang jelas seperti aturan terkait operasional angkutan umum kendaraan listrik, kendaraan baru & kendaraan hasil retrofit, regulasi terkait dengan infrastruktur kendaraan listrik, aturan teknis produksi dan penggunaan baterai, hingga ketentuan terkait insentif pembiayaan dari Pemerintah untuk kendaraan listrik.
"Kita juga perlu meningkatkan keterjangkauan dengan menumbuhkan pabrikan lokal. Secara langsung hal ini akan menaikkan nilai ekonomis, sekaligus mematuhi aturan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN)," sebutnya.
Gilarsi menegaskan, perseroan akan terus menjalin sinergi dan memperkuat koordinasi dengan pihak regulator, pelaku industri, dan instansi akademik, terutama berkenaan dengan skema bisnis dan pengembangannya di masa depan.
"Kami perlu lebih memperluas kerja sama dengan pelaku-pelaku industri di dalam ekosistem elektrifikasi ini. Dan yang paling penting, sebagai salah satu pelopor di industri ini, tentu kami akan selalu membutuhkan dukungan pemerintah dalam setiap tahap pengembangan," tuturnya.
Gilarsi W. Setijono meyakini bahwa pilihan me-retrofit sepeda motor konvensional menjadi sepeda motor listrik ini dapat menjadi solusi tambahan bagi pemerintah dan masyarakat luas dalam upaya mengurangi polusi di perkotaan di Indonesia, memanfaatkan teknologi yang tepat guna dengan ongkos yang relatif terjangkau.
Apalagi, fakta bahwa Indonesia saat ini merupakan negara ketiga dengan pengguna sepeda motor terbanyak di dunia, dimana sekitar 85 persen rumah tangga di Indonesia setidaknya memiliki satu unit sepeda motor dan menjadikannya sebagai alat transportasi utama.
Menurut survei yang pernah dilakukan oleh Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), kata Gilarsi, jumlah sepeda motor di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 80 juta, dengan 15 juta di antaranya digunakan untuk melewati kota Jakarta setiap harinya.
"Yang pasti, teknologi retrofit ini bukan sebuah rocket science dan relatif mudah diaplikasikan. Karenanya kami optimis bahwa metode yang kami tawarkan ini dapat cepat diterima oleh masyarakat secara luas dan tentunya mendapat dukungan penuh dari pihak pemerintah dan dunia usaha khususnya," pungkasnya.
(rob/ayh)