
RI Makin Jauh Dari Resesi, Bunga Kredit Bisa Naik Tinggi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian Indonesia menunjukkan kekuatannya di tengah isu resesi dunia 2023. Serangkaian data ekonomi yang dirilis sejak awal bulan menunjukkan Indonesia makin jauh dari kontraksi ekonomi beruntun.
Dengan ekonomi yang kuat, Bank Indonesia (BI) tentunya punya ruang untuk menaikkan suku bunga lebih tinggi. Hal ini diperlukan untuk mempertahankan stabilitas nilai tukar rupiah, yang belakangan terpuruk, sekaligus menjaga inflasi akan tidak tinggi.
BI sudah menaikkan suku bunga acuannya (BI 7 Day Reverse Repo Rate) selama tiga bulan beruntun hingga Oktober lalu dengan total 125 basis poin menjadi 4,75%, deposit facility menjadi 4% dan lending facility 5,5%
Kenaikan suku bunga acuan tersebut tentunya bisa mengerek suku bunga kredit perbankan lebih tinggi lagi. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan rata-rata suku bunga dasar Kredit Pemilikan Rumah (KPR) sudah naik 4 bps menjadi 8,61% pada Agustus, dari 8,57% pada Juli. Perbankan sudah mulai mengerek suku bunga saat BI pertama kali menaikkan suku bunga.
Rata-rata suku bunga dasar kredit mikro naik 5 bps menjadi 10,51% pada Agustus. Rata-rata suku bunga dasar kredit korporasi meningkat 4 bps menjadi 7,94% pada Agustus.
Selain itu, kenaikan suku bunga acuan BI terbilang cukup agresif, meski masih jauh ketimbang bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) yang sudah menaikkan 375 basis poin menjadi 3,75% - 4% sejak Maret lalu.
Kenaikan tersebut membuat imbal hasil (yield) obligasi AS melesat naik serta memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) sepanjang tahun ini hingga 4 November, tercatat capital outflow dari pasar Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 177 triliun. Hal ini, ditambah dengan indeks dolar AS yang berada di level tertinggi dalam 20 tahun terakhir membuat rupiah sepanjang tahun ini melemah sekitar 9%, sempat menembus ke atas Rp 15.700/US$.
Kenaikan suku bunga pun menjadi langkah guna meredam semua efek negatif tersebut. Sejauh ini, kenaikan suku bunga BI belum mampu mendongkrak kinerja rupiah, tetapi mampu meredam pelemahan lebih dalam.
Jika suku bunga dinaikkan lebih tinggi lagi, ada peluang rupiah bisa kembali menguat. Tetapi, konsekuensinya pertumbuhan ekonomi akan terhambat bahkan melambat.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal pekan lalu mengumumkan realisasi produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada kuartal III-2022 tumbuh 5,72% (year on year/yoy). Rilis tersebut sedikit lebih tinggi dari proyeksi pemerintah 5,7%, dan Bank Indonesia (BI) 5,5%.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 14 institusi juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,6%.
Pertumbuhan tersebut cukup tinggi, bahkan jika menghilangkan periode anomali akibat low base effect pada kuartal II-2021, pertumbuhan ekonomi kuartal III-2022 adalah yang tertinggi sejak kuartal IV-2012 atau dalam 10 tahun terakhir di mana ekonomi Indonesia tumbuh 5,87%.
Sehari setelahnya, Bank Indonesia melaporkan IKK Oktober sebesar 120,3, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 117,2. IKK menggunakan angka 100 sebagai ambang abtas antara zona optimis dan pesimis. Di atasnya 100 artinya optimis, semakin tinggi tentunya semakin bagus.
Saat konsumen semakin optimistis, maka belanja bisa mengalami peningkatan yang pada akhirnya mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Seperti diketahui, belanja rumah tangga merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia, di kuartal III-2022 kontribusinya lebih dari 50%.
Jika dilihat lebih detail, kenaikan IKK ditopang oleh Indeks Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK). Keduanya tercatat naik menjadi 112,3 dan 128,3 dari sebelumnya 108,3 dan 126,1.
Kenaikan tersebut terbilang tajam, melihat IEK juga memberikan optimisme ke depannya perekonomian Indonesia masih akan kuat meski dunia terancam mengalami resesi di 2023.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> BI Mungkin Tak Perlu Naikkan Suku Bunga Tinggi
