
Aneh! RI Harusnya Kebanjiran Dolar, Gak Langka Kayak Sekarang

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang Rusia dan Ukraina sejak awal tahun ini sebetulnya membawa berkah bagi Indonesia. Komoditas utama ekspor tanah air alami lonjakan harga bak 'durian runtuh'. Sebut saja batu bara, minyak dan gas. nikel. bauksit, hingga minyak kelapa sawit.
Walaupun disadari kemudian, uang hasil ekspor tersebut tak berada di sini.
"Neraca perdagangan kita surplusnya tercatat, tapi duitnya gak di sini," ungkap Chatib Basri, Ekonom Senior saat berbincang dengan CNBC Indonesia, dikutip Rabu (26/10/2022)
"Kenapa saya bilang begini, lihat di foreign reserve, surplus gede tapi masa foreign reserve-nya stagnan," tegasnya.
Berdasarkan data BPS, neraca perdagangan Indonesia pada September 2022 kembali mencatat surplus, yakni 4,99 miliar dolar AS. Kinerja positif tersebut melanjutkan surplus neraca perdagangan Indonesia sejak Mei 2020.
Neraca perdagangan Indonesia pada Januari-September 2022 secara keseluruhan mencatat surplus 39,87 miliar dolar AS, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan capaian pada periode yang sama tahun 2021 sebesar 20,71 miliar dolar AS.
Bank Indonesia (BI) mencatat cadangan devisa per Agustus 2022 di kisaran US$130,8 miliar, mampu membiayai 5,9 bulan impor atau 5,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Dibandingkan dengan posisi awal tahun, cadangan devisa Indonesia justru turun. Januari 2022 cadangan devisa sebesar US$141,34.
Data lain yang cukup mengkhawatirkan adalah pasokan valas di perbankan. Perbankan mencatat pertumbuhan kredit valas tumbuh lebih tinggi mencapai 15,3% dibandingkan dengan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) valas yang hanya 6,9%.
"Mungkin karena sistem DHE-nya begitu ekspor catatin di sini dan taruh luar lagi karena risiko exchange rate," jelasnya. Di samping itu, bunga valas yang ditawarkan perbankan dalam negeri cenderung rendah dibandingkan negara lain.
Terbatasnya pasokan valas ini juga diakui oleh Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti saat konferensi pers BI pekan lalu.
"Likuiditas valas terbatas, padahal trade balance besar. Satu hal ini memang agak berbeda dengan periode-periode yang lalu," jelas Destry.
BI selaku otoritas moneter diharapkan bisa menjadi katalis dalam menstabilkan pasar keuangan di dalam negeri. Kenaikan suku bunga BI sebesar 50 bps dinilai penting untuk menjangkar inflasi atau ekspektasi yang bergerak liar.
Namun, pada kenyataannya sehari setelah kebijakan ini dikeluarkan, kenaikan suku bunga hingga hari ini belum mampu mendongkrak kinerja mata uang Garuda.
Bahkan, BI sejak menaikkan suku bunga acuan pada Agustus 20222, mengumumkan operasi khusus untuk menjaga stabilitas nilai tukar.
Operasi tersebut bernama 'Twist Operation'. Tidak hanya triple intervention, BI melakukan operation twist dengan menjual SBN tenor pendek dan membeli di tenor panjang. Dengan operasi ini, BI akan mendorong daya tarik SBN tenor panjang dengan harapan investor kembali masuk dan nilai tukar lebih stabil.
Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro melihat langkah tersebut kurang strategis. Pasalnya, meski BI menaikkan suku bunga, keputusan untuk mempertahankan pembelian obligasi di pasar primer dan sekunder justru menyebabkan berlebihnya likuditas.
"Kelebihan rasio likuiditas ini salah satunya terlihat dari rendahnya loan-to-deposit ratio, dan pada akhirnya mengurangi insentif diantara perbankan untuk mengikuti BI dan menaikkan suku bunga," katanya kepada CNBC Indonesia.
"Jika suku bunga deposito rupiah belum naik, maka instrumen lain termasuk deposito dollar juga tidak akan naik. Pada akhirnya perbedaan suku bunga Indonesia dengan luar negeri tetap lebar," ujarnya.
Terlebih lagi, Singapura yang tingkat bunganya relatif lebih menarik, sehingga mengakibatkan masih tipisnya likuiditas dollar di perbankan domestik.
Alhasil, Bahana Sekuritas melihat melihat banyak pendapatan ekspor Indonesia disimpan di bank-bank Singapura di tengah-tengah fenomena surplus bertubi-tubi.
Hal ini dikarenakan bank di Negeri Jiran tersebut menawarkan lebih dari 3% setahun untuk dolar AS yang ditempatkan di deposito berjangka.
Kondisi tersebut semakin menegaskan bahwa windfall profit atau durian runtuh dari tingginya harga komoditas global yang selama ini diterima Indonesia dan tercermin dari surplus neraca perdagangan selama 29 bulan beruntun ternyata menguap ke negeri orang.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Penyebab Cadangan Devisa RI US$155,7 M: Utang Sampai Devisa Migas