
Hanya Menguat Sesaat, Rupiah Masih Tak Berdaya Lawan Dolar AS

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali mencatatkan perlemahan melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (25/10/2022), sentimen negatf sepertinya masih menyelimuti pasar keuangan sehingga sentimen positif dari realisasi investasi pada kuartal III-2022 belum mampu membawa rupiah bersinar.
Mengacu pada data Refinitiv, rupiah terapresiasi tipis pada pembukaan perdagangan sebesar 0,03% ke Rp 15.580/US$. Kemudian, rupiah berbalik arah dan terkoreksi sebesar 0,17% ke Rp 15.611/US$ pada pukul 11:10 WIB.
Pada penutupan perdagangan rupiah tembus ke Rp 15.620/US$ melemah 0,22% di pasar spot. Meskipun sempat mencatatkan penguatan, nyatanya rupiah menguat hanya untuk kembali terkoreksi. Mata uang garuda masih mencatatkan kinerja yang mengecewakan.
Perlemahan rupiah terjadi di tengah kembali menguatnya dolar AS di pasar spot. Pukul 15:00 WIB, indeks dolar AS terpantau menguat tipis 0,04% ke posisi 112,04. Meskipun, Dolar semakin mencoba menjauhi rekor tertingginya selama dua puluh tahun di 114,7 yang dicapainya pada September lalu.
Tak bisa dipungkiri, pasar keuangan Indonesia masih terus berhadapan dengan ketidakpastian global. Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter diharapkan bisa menjadi katalis dalam menstabilkan pasar keuangan di dalam negeri. Kenaikan suku bunga BI sebesar 50 bps dinilai penting untuk menjangkar inflasi atau ekspektasi yang bergerak liar.
Namun, pada kenyataanya sehari setelah kebijakan ini dikeluarkan, kenaikan suku bunga hingga hari ini belum mampu mendongkrak kinerja mata uang Garuda.
Sentimen eksternal masih dominan. Survei analisReutersmenunjukkan bahwa 86 dari 90 ekonom memprediksikan bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 bps pada pertemuan selanjutnya di November 2022 dan akan mengirim tingkat suku bunga Fed menjadi 3,75%-4%.
Analis memproyeksikan bahwa The Fed akan terus agresif karena angka inflasi yang masih tinggi dan angka pengangguran mendekati posisi terendah sebelum pandemi di 3,5%.
Selain itu, mayoritas ekonom juga memproyeksikan kenaikan suku bunga sebesar 50 bps pada Desember 2022 dan tingkat suku bunga akan berada di 4,25%-4,5%. Sementara, tingkat suku bunga Fed diproyeksikan akan berada di 4,5%-4,75% pada kuartal I-2023.
Konsensus analis Reuters memperkirakan angka inflasi AS pada akhir tahun ini akan berada di 8,1%, sedangkan pada 2023 akan berada di 3,9% dan 2024 di 2,5%.
The Fed diprediksikan akan berhenti menaikkan suku bunga ketika bukti nyata bahwa angka inflasi AS telah turun. Namun, AS berpotensi mengalami resesi sedang pada kuartal III-2023.
"Pejabat Fed telah mengindikasikan bahwa jeda hanya mungkin setelah bukti 'jelas dan meyakinkan' inflasi telah dimoderasi," kata Ekonom Senior AS di Deutsche Bank Brett Ryan dikutip Reuters.
"Dengan The Fed melanjutkan pengetatan agresifnya untuk mengendalikan inflasi yang terus-menerus, kami memperkirakan resesi moderat kemungkinan akan dimulai pada Q3 tahun depan karena pertumbuhan riil akan turun negatif dan tingkat pengangguran akan meningkat secara substansial," tambahnya.
Tingkat pengangguran diperkirakan rata-rata menjadi 3,7% tahun ini sebelum masing-masing naik menjadi 4,4% dan 4,8% pada tahun 2023 dan 2024.
Dari dalam negeri, padahal ada kabar baik bahwa Penanaman Modal Asing (PMA) mencatat rekor kenaikan tertinggi. Hal ini tentunya menjadi kabar bagus, di saat dunia sedang terancam resesi.
Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) kemarin mencatat realisasi investasi sepanjang kuartal III-2022 mencapai Rp 307,8 triliun, tumbuh 42,1% year on year (yoy). Dengan investasi tersebut, tenaga kerja yang terserap sebanyak 325.575 orang.
Namun sentimen positif ini hanya sesaat membawa rupiah menguat, selanjutnya rupiah kembali keok melawan dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aum/aum)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer