Review Sepekan

Rupiah Pekan Ini Makin Merana, Sudah Di Atas Rp 15.600/US$

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
22 October 2022 13:15
Petugas menghitung uang di tempat penukaran uang Luxury Valuta Perkasa, Blok M, Jakarta, Kamis, 21/7. Rupiah tertekan pada perdagangan Kamis (21/7/2022) (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Petugas menghitung uang di tempat penukaran uang Luxury Valuta Perkasa, Blok M, Jakarta, Kamis, 21/7. Rupiah tertekan pada perdagangan Kamis (21/7/2022) (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang rupiah sepanjang pekan ini terpantau ambles, di mana pada pekan ini rupiah terus melemah dihadapan dolar Amerika Serikat (AS) dan sudah menyentuh di atas Rp 15.600/US$.

Melansir dari Refinitiv pada pekan ini, rupiah ambles 1,33% secara point-to-point (ptp) dihadapan dolar AS. Pada perdagangan Jumat (21/10/2022), rupiah melemah 0,39% ke posisi Rp 15.630/US$.

Pada perdagangan Jumat kemarin menjadi Level yang terlemah sejak pertengahan April 2020. Adapun sepanjang tahun ini, mata uang Garuda ambrol 10%.

Terkoreksinya Mata Uang Garuda dipicu oleh masih kuatnya dolar AS, meski pada Jumat kemarin terpantau melemah, terlihat dari indeks dolar AS.

Kemarin, indeks dolar AS melemah 0,89% ke posisi 111,88. Meski melemah, tetapi indeks dolar AS masih melesat 16,28% sepanjang tahun ini.

Keperkasaan si greenback ditopang oleh agresifnya bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) untuk menaikkan suku bunga acuan guna meredam angka inflasi yang melonjak.

Di sepanjang 2022, The Fed terpantau telah menaikkan suku bunga sebanyak 300 basis poin (bp) dan mengirim suku bunga acuan dari 0,25% hingga ke 3%-3,25%.

The Fed berupaya untuk menurunkan angka inflasi AS yang melonjak. Pada Juni 2022, inflasi AS berada di 9,1% secara tahunan (year-on-year/yoy) dan menjadi posisi tertinggi selama 40 tahun.

Namun, pada September 2022, inflasi AS mulai melandai dan berada di 8,2% (yoy). Meski melandai, angka inflasi AS masih berada di posisi yang tinggi jauh dari target Fed di 2%.

Inflasi yang 'mendarah daging' tersebut, tampaknya akan direspon dengan kenaikan suku bunga lanjutan oleh Fed pada FOMC bulan November 2022.

Melansir alat ukur FedWatch, sebanyak 95% analis memprediksikan Fed akan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 bp, sedangkan sisanya memproyeksikan sebesar 50 bp.

Pada awalnya, Bank Indonesia (BI) memilih untuk mempertahankan suku bunga acuan rendah di 3,5% dan telah bertahan sejak Februari 2021 hingga Juli 2022 karena angka inflasi Indonesia masih dinilai cukup rendah jika dibandingkan dengan negara lainnya.

Namun, pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Agustus 2022, BI mengejutkan pelaku pasar dengan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bp dan mengirim tingkat suku bunga ke 3,75%. Kenaikan tersebut menjadi yang pertama kalinya sejak 18 bulan.

Gubernur BI, Perry Warjiyo mengungkapkan kenaikan ini merupakan langkah preemptive dan forward looking untuk menjangkar ekspektasi inflasi inti akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi dan volatile food.

Diketahui, pada awal September silam, pemerintah Indonesia memutuskan untuk menaikkan harga jual bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi Petralite (RON 90) dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter dan harga solar subsidi naik menjadi Rp 6.800 per liter dari Rp 5.150 per liter.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), konsumsi Petralite, mencapai hampir 80% dari total konsumsi BBM. Sehingga, kenaikan harga pada Petralite, tentunya menyumbang angka inflasi naik. Angka inflasi Indonesia pun melonjak ke 5,95% (yoy) pada September dari 4,69%.

Setelahnya, BI pun terus menaikkan suku bunga acuannya sebanyak dua kali yang masing-masing sebesar 50 bps. Kini, suku bunga acuan BI berada di 4,75%.

Keputusan kenaikan suku bunga tersebut sebagai langkah front loaded, forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang terlalu tinggi dan memastikan inflasi inti kembali ke sasaran 3% plus minus 1% lebih awal ke paruh pertama 2023.

"Juga memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan akibat semakin kuatnya mata uang dolar AS dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global di tengah permintaan domestik yang menguat," tambah Perry.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Anjlok buat Money Changer Antre, Segini Harga Jualnya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular