Satu Kata Untuk Ramalan Rupiah Hingga Akhir 2022: Mengerikan!
Jakarta, CNBC Indonesia - Kemarin, pelemahan nilai tukar rupiah menjadi topik paling populer atau trending topic di lini masa twitter dengan tagar #KonyolRupiahTKO.
Tema ini mengikuti perkembangan nilai tukar rupiah yang terus menerus melemah dalam sebulan terakhir setelah tembus level psikologis Rp15.000/US$ dalam sebulan terakhir.
Rupiah belakangan memang 'dihajar' habis dolar AS. Mata yang Garuda bahkan kini mendekati level terendah sejak 16 April 2020, atau 2,5 tahun terakhir, di mana pada saat itu nilai tukar rupiah berada di level Rp 15.600/US$.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan, pelemahan rupiah saat ini masih relatif terbatas dibandingkan dengan mata uang negara Asia lainnya.
Kendati demikian, pelemahan rupiah akan berpengaruh ke pelaku usaha manufaktur, yang notabene sebagian besar importir untuk bahan baku dan barang modal.
Josua berharap, dengan BI menaikkan suku bunga 50 basis poin (bps), agar spread antara suku bunga BI dan The Fed tidak terlalu jauh. Sehingga pasar keuangan domestik masih dilirik investor.
Banyak analis, termasuk Josua memperkirakan Fed Fund Rate (FFR) yang saat ini berada pada kisaran 3% hingga 3,25% masih akan naik 75 bps pada November dan 50 bps pada Desember.
Dengan demikian, untuk menarik investor masuk ke dalam pasar keuangan Indonesia, BI diharapkan bisa menaikan suku bunganya menjadi 4,75%.
"Kondisi tahun depan ekspektasinya The Fed tidak seagresif tahun ini. Kita harapkan setidaknya rupiah mendekati level Rp 15.200/US$ di akhir tahun," jelas Josua kepada CNBC Indonesia.
Josua menilai nilai tukar rupiah saat ini masih dalam angka under value. Artinya kondisi saat ini lebih sangat dipengaruhi faktor sentimen. Penguatan dolar yang terjadi saat ini, bukan hanya terjadi terhadap nilai tukar rupiah, tapi juga mata uang negara lainnya.
Dengan dengan, investor global cenderung akan menginvestasikan ke safe haven di tengah ketidakpastian yang tinggi saat ini. Apalagi dengan kenaikan suku bunga yang sangat agresif dari Bank Sentral AS.
"Liquidity is the king currently. Bagaimana pengelolaan likuiditas valas harus diperkuat dari sisi DHE (Devisa Hasil Ekspor), cadangan devisa, dan cash flow management," tutur Josua.
"Kita harapkan penguatan-penguatan ini dilakukan BI agar rupiah bukan berharap menguat, tapi setidaknya memiliki titik keseimbangan supaya tidak undervalue," kata Josua lagi.
Kepala Ekonom BCA David Sumual juga mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah saat ini dalam relatif baik, bahkan jika dibandingkan dengan negara berkembang lainnya.
Namun tidak bisa dihindari, pengaruh pelemahan rupiah juga berasal dari faktor eksternal, yakni dari kebijakan The Fed.
"Walaupun melemah stabilisasi rupiah masih kondusif terutama untuk sektor riil, walaupun melemah, pelemahannya 1-2 hari ini tak lebih dari 1%," jelas David.
Menurut David, pelemahan rupiah ini jangan hanya dilihat dari nominal tertentunya saja, namun yang harus dijaga adalah tingkat volatilitasnya. Oleh karena itu, nilai tukar rupiah yang masih bertengger di kisaran Rp 15.500/US% ini dinilai masih wajar.
"Saya pikir kisaran Rp 15.500/US$ masih kondusif untuk eksportir dan importir. Sehingga sektor riil kita masih berjalan stabil dan lancar," jelas David.
David tak menampik, bahwa seiring dengan kebijakan moneter The Fed dan bank sentral global yang memperketat kebijakan moneternya, rupiah masih akan melemah hingga akhir tahun.
"Kelihatannya (rupiah) masih ada tekanan. Overshot ada dalam jangka pendek, namun awal tahun ada stabilisasi," kata David lagi.
Hal serupa juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif atau Kepala Ekonomi Segara Research Institute Piter Abdullah. Menurut Piter saat ini masih ada rupiah untuk melemah.
"Saya perkirakan angka-angka dari nilai tukar rupiah ditahan BI bukan pada level tertentu, namun agar volatilitas lebih stabil," jelas Piter.
"Agar volatilitas tidak terlalu lebar dan itu diperkirakan di atas Rp 15.000 dan akan pelan-pelan ke ekuilibriumnya yang baru," kata Piter lagi.
Jika benar pelemahan rupiah terus berlanjut di atas level Rp 15.000/US$ sampai akhir tahun, maka asumsi pemerintah untuk nilai tukar rupiah dalam APBN 2022 akan meleset.
Pada APBN, kurs dipatok sebesar Rp 14.350 per US$. Sementara menurut perubahan APBN sesuai Peraturan Presiden No.98 tahun 2022, kurs dipatok Rp 14.450 per US$
(cha/cha)