BI Diprediksi Naikkan Suku Bunga Lagi, Harga SBN Melemah

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
Rabu, 19/10/2022 22:51 WIB
Foto: Ilustrasi Obligasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup melemah pada perdagangan Rabu (19/10/2022), di tengah perkiraan pasar terkait Bank Indonesia (BI) yang akan menaikkan suku bunga acuannya besok.

Investor kompak melepas SBN pada hari ini, ditandai dengan naiknya imbal hasil (yield) di seluruh SBN acuan.

Melansir data dari Refinitiv, yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara menjadi yang paling besar kenaikannya, yakni melonjak 9,4 basis poin (bp) ke posisi 7,509%.


Sedangkan untuk yield SBN bertenor 15 tahun menjadi yang paling kecil kenaikannya, yakni naik 3,6 bp menjadi 7,47%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Dari dalam negeri, pasar memprediksi BI akan kembali menaikkan suku bunga acuannya Kamis besok. Rapat Dewan Gubernur BI pada 19-20 Oktober 2022, diyakini akan memutuskan kenaikan lanjutan suku bunga acuan.

Sebelumnya BI telah menaikkan suku bunga sebesar 50 bp menjadi 4,25% pada September 2022.

Kali ini, proyeksi paling ekstrem, BI akan mempertimbangkan kenaikan 75 bp, meskipun kecenderungan mengarah kepada dosis 50 bp. Hal tersebut diungkapkan dalam laporan riset dari Bahana Sekuritas yang disusun oleh Kepala Ekonom, Putera Satria Sambijantoro dan timnya.

"Kenaikan suku bunga 75 bp secara aktif dipertimbangkan dalam pertemuan itu (RDG). Walaupun, pejabat BI akhirnya menyelesaikan dengan kenaikan suku bunga 50 bps, banyak yang sebenarnya condong ke arah pergerakan 75 bp daripada hanya 25 bp, karena mereka khawatir tentang penyempitan perbedaan hasil dengan AS dan potensi kenaikan kuat dalam inflasi inti domestik," tulis Bahana Sekuritas, dalam laporannya, Rabu (19/10/2022).

Dengan demikian, kecenderungan kenaikan 50 bp cukup kuat sesuai konsensus ekonom. Namun, Bahana melihat dosis 75 bp menjadi 5,0% dapat dilakukan jika BI ingin menanamkan kepercayaan ke pasar.

Selain itu, BI tertinggal di belakang bank sentral lainnya. Kondisi saat ini, likuiditas dolar perlahan susut di pasar. Jelas ini masa-masa sulit setelah windfall profit dari kenaikan harga komoditas reda.

Sejalan dengan itu, Gubernur BI, Perry Warjiyo telah memberikan sinyal bahwa kenaikan suku bunga yang dilakukan BI akan bersifat 'frontloading'.

Ini jelas membuka kemungkinan kenaikan yang cukup tinggi dari suku bunga acuan, BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI-7DRRR) bulan Oktober ini.

Sementara itu di Amerika Serikat (AS), yield obligasi pemerintah (US Treasury) juga cenderung menanjak pada pagi hari ini waktu setempat, karena kekhawatiran atas resesi kembali menyebar di antara investor.

Dilansir dari CNBC International, yield Treasury berjangka pendek yakni tenor 2 tahun meningkat 5,6 bp menjadi 4,493%. Sedangkan untuk yield Treasury benchmark tenor 10 tahun juga cenderung menanjak 7,1 bp menjadi 4,069% pada pagi hari ini waktu AS.

Kekhawatiran tentang resesi semakin keras di kalangan investor karena bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) terus mengikuti jalur hawkish yang dilapisi dengan kenaikan suku bunga.

Hal ini membuat beberapa perusahaan di AS kembali merubah proyeksi pendapatannya, dengan beberapa perusahaan dan analis merevisi prospek mereka ke bawah untuk kuartal mendatang.

Pasar juga memperkirakan The Fed kembali menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuan November mendatang.

Mengacu pada FedWatch, sebanyak 96,7% para pelaku pasar memproyeksikan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bp dan membawa tingkat suku bunga Fed ke kisaran 3,75%-4%.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Modal Pasar Saham & SBN Tarik Investor Saat Iran-Israel Panas