CNBC Indonesia Research

Bisnis Utama di China Ini Sudah Krisis, Siapa Lagi Menyusul?

Market - Muhammad Maruf, CNBC Indonesia
19 October 2022 07:25
Vehicles drive past unfinished residential buildings from the Evergrande Oasis, a housing complex developed by Evergrande Group, in Luoyang, China September 16, 2021. Picture taken September 16, 2021. REUTERS/Carlos Garcia Rawlins Foto: Kendaraan melewati bangunan tempat tinggal yang belum selesai dari Evergrande Oasis, kompleks perumahan yang dikembangkan oleh Evergrande Group, di Luoyang, Cina 16 September 2021. (REUTERS/Carlos Garcia Rawlins)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sektor perumahan di China sudah jatuh ke lubang krisis yang cukup dalam, banyak proyek terbengkalai tak dilanjutkan karena kehabisan dana. Memicu efek lanjutan, jutaan pembeli tak mau lagi membayar cicilan kredit kepemilikan rumah (KPR), yang memicu efek domino kebangkrutan developer properti.

Sinyal krisis properti di negeri komunis ini sebetulnya sudah menyala sejak Agustus tahun lalu ditandai dengan gagal bayar utang Evergrande Group, developer properti terbesar kedua di China. Mereka mengaku kehabisan uang untuk bisa melanjutkan pelbagai proyek yang sedang berjalan. Beban utang mereka, satu perusahaan saja, mencapai lebih dari US$300 miliar, setara Rp4.600 triliun pada kurs Rp15.400, dan kini masuk skema restrukturisasi.

Sinyal itu semakin terang tahun ini, dimana Country Garden, developer properti terbesar di China melaporkan laba anjlok hampir 100% pada paruh pertama tahun ini. "Pada tahun 2022, sektor properti menghadapi segudang tantangan, termasuk ekspektasi pasar melemah, permintaan lesu, dan penurunan harga properti," ujar perusahaan dalam penjelasan tentang kinerja.

"Semua ini memberikan tekanan yang meningkat pada semua peserta di pasar properti, yang telah merosot dengan cepat ke dalam depresi berat. Lingkungan bisnis yang keras di mana hanya yang terkuat yang dapat bertahan," tambahnya.

Next? Pasar Obligasi

Lebih dari 30 developer telah dinyatakan gagal bayar obligasi dolar AS mereka, sementara banyak developer secara diam-diam memberi sinyal akan kinerja buruk. Krisis gagal bayar ini sekarang sudah merembet ke perbankan dan shadow bankingĀ­-, sementara banyak developer dengan beban hutang besar mulai membiarkan proyek terbengkalai tak terselesaikan.

Tak hanya itu, kejatuhan nilai tukar renminbi (CNY) terhadap dolar AS pada level terendah yang hanya pernah di jumpai pada saat krisis finansial 2008, semakin memperburuk outlook properti China. Perlu dicatat, properti adalah sektor bisnis di China yang paling banyak dalam menerbitkan surat utang berdenominasi dolar AS, sehingga pelemahan mata uang lokal pelan-pelan membunuh usaha mereka.

Rontoknya Evergrande hanyalah puncak gunung es dari sektor properti China yang tengah sekarat. Menandai kehancuran pasar perumahan China, menginformasikan ke khalayak umum bahwa krisis properti China telah melahirkan krisis baru, yakni utang.

Sialnya, bank-bank di China sejak tahun lalu rajin menerbitkan obligasi untuk menutup kerugian akibat kredit macet, hingga totalnya mencapai 30% dari kebutuhan dana untuk menambal modal kerja yang bolong.

Nah, banyak 'pemakan' surat utang dalam kategori junk atau sampah karena menawarkan suku bunga tinggi itu-berarti risiko juga tinggi-adalah perusahaan asal AS dan Eropa. Mereka misalnya, diketahui memiliki obligasi korporat milik Evergrande yang menjadikan kisruh di China bisa melebar kemana-mana.

Bloomberg kemarin melaporkan pasar surat utang sampah asal China sudah mulai berulah. Judulnya cukup bikin ngeri, "Chinese Junk Bonds Set Record Low as Property Crisis Spreads". Dilaporkan, harga obligasi mereka jatuh ke titik terendah pada Senin (17/10/2022) kemarin, dimana rata-rata harga junk bond yang di dominasi keluaran perusahaan properti itu turun ke US$55,7 sen.

Tak main main, sektor properti menyumbang seperlima dari PDB China. Jatuhnya pasar utama ini memiliki dampak serius pada ekonomi global serta pertumbuhan domestik, mengingat China adalah salah dua dari mesin utama ekonomi dunia, setelah AS. Bagi Indonesia, China adalah motor utama penggerak ekspor, karena disanalah barang-barang dari nusantara paling banyak laku.

Sekedar mengingatkan, tsunami finansial global yang dipicu AS pada 2008 dan meluluhlantakan ekonomi dunia pada mulanya dipicu oleh tindakan yang sepertinya sepele. Debitur KPR di AS ramai-ramai tak mau, dan tak sanggup lagi membayar cicilan rumah mereka. Itu saja.

Dampak ke Indonesia? Nantikan analisis-analisis menarik selanjutnya dari CNBC Indonesia Research hanya di CNBC Indonesia.

TIM RISET CNBC INDONESIA


[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya

BI & Sejumlah Bank Sentral Asia-Pasifik Sepakati RenMinBi


(mum/mum)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading