Awal Pekan Investor Koleksi SBN, Yield-nya Kembali Melandai

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
Selasa, 18/10/2022 06:17 WIB
Foto: Sun, Ilustrasi Oligasi

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup menguat pada perdagangan Senin (17/10/2022) awal pekan ini, di tengah sikap investor yang masih menimbang dampak dari masih tingginya inflasi di Amerika Serikat (AS).

Mayoritas investor memburu SBN pada hari ini, ditandai dengan turunnya imbal hasil (yield) di hampir seluruh tenor SBN acuan. Hanya SBN tenor 30 tahun yang cenderung dilepas oleh investor, ditandai dengan naiknya yield.

Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 30 tahun naik 1 basis poin (bp) ke posisi 7,356% pada perdagangan hari ini.


Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara berbalik melandai 9,2 bp menjadi 7,454%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Dari dalam negeri, surplus neraca perdagangan Indonesia menyusut menjadi US$ 4,99 miliar pada September 2022. Di luar proyeksi, impor anjlok pada September bahkan mencatatkan rekor terendahnya dalam empat bulan terakhir.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Indonesia September 2022 mencapai US$ 24,80 miliar. Nilai tersebut turun 11% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm), tetapi masih meningkat 20,28% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy).

Sedangkan impor pada September 2022 mencapai US$ 19,81 miliar, turun 10,58% (mtm) dan melonjak 22,01% (yoy).

Dengan demikian, neraca perdagangan pada September membukukan surplus sebesar US$ 4,99 miliar. Nilai tersebut jauh lebih rendah dibandingkan pada Agustus sebesar US$ 5,71 miliar.

Surplus perdagangan tersebut sejalan dengan konsensus pasar. Polling CNBC Indonesia yang melibatkan 13 ekonom memperkirakan surplus pada Agustus hanya akan mencapai US$ 4,85 miliar.

Data BPS menunjukkan impor naik 20,28% (yoy) pada September. Kenaikan secara tahunan (yoy) tersebut adalah yang terendah sejak Februari 2021.

Nilai impor September juga jauh lebih kecil dibandingkan proyeksi polling CNBC Indonesia yang memperkirakan impor akan tumbuh 34,31%.

Sementara itu di Amerika Serikat (AS), pergerakan yield obligasi pemerintah (US Treasury) juga cenderung melandai pada pagi hari ini waktu setempat, karena investor masih menimbang dampak dari masih tingginya inflasi di AS.

Dilansir dari CNBC International, yield Treasury berjangka pendek yakni tenor 2 tahun turun 5,3 bp menjadi 4,454%.

Sedangkan untuk yield Treasury benchmark tenor 10 tahun juga cenderung menurun 5,1 bp menjadi 3,995% pada pagi hari ini waktu AS.

Investor mencermati rilis pendapatan emiten di AS untuk petunjuk tentang dampak inflasi dan kenaikan suku bunga terkait terhadap ekonomi AS.

Setelah pembacaan inflasi September lebih panas dari yang diharapkan, analis secara luas mengharapkan kenaikan suku bunga 75 bp lagi dari bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pada pertemuan edisi November.

Mengacu pada FedWatch, sebanyak 97,8% para pelaku pasar memproyeksikan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bp dan membawa tingkat suku bunga Fed ke kisaran 3,75%-4%.

Keagresifan The Fed diprediksi akan membawa perekonomian Negara Adidaya tersebut masuk ke zona resesi dan tentunya akan berdampak pada negara-negara lain di dunia. AS merupakan perekonomian terbesar di dunia.

PDB AS menyumbang 25% dari ekonomi dunia. AS pun memimpin posisi ekonomi tertinggi sejak tahun 1960, bahkan jauh sebelum perang dunia I dan II. Atas dasar itu, AS dikenal sebagai Negara Adidaya Ekonomi.

Dengan demikian, jika negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini tertekan, maka akan bisa dipastikan mengganggu perekonomian global.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Bos MI Proyeksi IHSG Bisa Tembus 8.000, Kapan Bisa Tercapai?