Amit-amit Rupiah Sentuh Rp 16.000, Apa Dampaknya buat RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah ditutup stagnan melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (12/10/2022) di tengah isu resesi yang semakin nyaring terdengar sehingga membuat dolar AS kian perkasa.
Mengacu pada data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan, selang 2 menit kemudian mata uang Garuda langsung melemah 0,1% ke Rp 15.370/US$. Pada pukul 11:00 WIB rupiah sempat terkoreksi nyaris mendekati level 15.400/US$, yakni sebanyak 0,16% ke Rp 15.380/US$.
Di penutupan perdagangan rupiah berada di Rp 15.355/US$ sama seperti penutupan perdagangan hari sebelumnya di pasar spot, posisi ini masih terlemah dalam 2,5 tahun terakhir, tepatnya sejak 30 April 2020.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, pelemahan mata uang Garuda mungkin tidak akan langsung berdampak pada pertumbuhan ekonomi, tetapi faktor-faktor yang mendorong pelemahan itu bisa berdampak, seperti aliran modal terhenti atau bahkan sebagian keluar, terjadi pengetatan likuiditas di pasar global.
Namun, dia menyampaikan perekonomian Indonesia juga sedang beranjak pulih di tengah meredanya pandemi, sehingga akan ada tarik menarik.
"Ada yang mendorong kenaikan pertumbuhan, ada yang menahan. Tapi kenaikan suku bunga itu sifatnya menahan pertumbuhan ekonomi," ungkapnya.
Di sisi lain, pengetatan kebijakan moneter untuk menahan inflasi ternyata tidak mampu menghalau berbagai negara dari resesi. Bahkan, berdasarkan proyeksi Bank Dunia, ekonomi global akan tumbuh lebih lambat pada tahun ini sebesar 2,9%.
Secara umum, resesi terjadi ketika ekonomi tumbuh negatif dua kuartal beruntun. Pada 2020 lalu dunia mengalami resesi akibat pandemi Covid-19, yang membuat aktivitas masyarakat terganggu. Situasi tersebut membuat roda ekonomi pun menjadi macet.
Meskipun dunia sedang di ambang resesi kedua dalam dua tahun terakhir, Indonesia diperkirakan tidak terdampak parah seperti yang terjadi pada 1998 ataupun 2020.
"Dampak kepada perekonomian Indonesia pada resesi global diperkirakan tidak separah 2020 ataupun 1998 seiring dengan kondisi ekonomi riil yang masih relatif stabil sejauh ini," ujar Josua Pardede, Ekonom Bank Permata, dikutip Sabtu (1/10/2022).
Lalu, seandainya resesi terjadi, dampak apa yang akan dirasakan oleh masyarakat?
Ekspor Indonesia akan terguncang karena pasar dunia yang lesu. Ekspor sendiri berkontribusi sebesar 23% terhadap pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2022. Kemerosotan ekspor akibat resesi dunia tentunya akan memangkas PDB Indonesia.
Saat ekspor kemudian menjadi lesu, dampaknya akan terasa bagi eksportir. Permintaan yang sepi akan mempengaruhi pendapatan perusahaan.
Di sisi lain, beban operasional tetap harus berjalan seperti listrik, sewa gedung, dan karyawan. Biasanya untuk mengurangi beban, kapasitas produksi pun dikurangi mengikuti permintaan yang turun.
Selain itu, karyawan pun jadi korban dengan adanya pemotongan gaji. Bahkan lebih parah, adanya pemutusan hubungan kerja (PHK). Ujung-ujungnya daya beli pun semakin rendah karena pendapatan yang terpotong atau bahkan terputus. Tingkat pengangguran pun menjadi bertambah. Sudah pasti saat pendapatan berkurang, pengeluaran hanya terbatas untuk memenuhi kebutuhan pokok saja.
Masalah semakin rumit ketika ada hutang yang belum dibayar dan sudah segera jatuh tempo. "Gali lubang, tutup lubang" alias meminjam untuk menutup pinjaman akan jadi pilihan yang umum untuk segera membayar hutang yang akan jatuh tempo.
Apalagi saat terjadi resesi, menjual aset di harga terbaik akan sulit. Sebab daya beli masyarakat sedang lesu saat itu.
Kemudian jika melihat kondisi saat ini, resesi dipicu oleh kenaikan suku bunga bank sentral yang agresif. Sehingga bisa mengerek suku bunga kredit yang membuat utang menjadi lebih mahal. Di sisi lain bunga deposito pun bisa naik yang membuat investasi di bank lebih menguntungkan dibandingkan investasi di aset risiko yang akan terpukul. Jadi, daya beli masyarakat akan terpukul karena pendapatan yang berkurang, ini berisiko meningkatkan angka kemiskinan.
Analis memberikan saran divestasi investasi melihat dunia menuju resesi. Menghadapi ancaman resesi, Anthony Watson, founder dan presiden Thrive Retirement Specialist di Michigan sebagaimana dikutip menyarankan melakukan divestasi investasi.
(RCI/dhf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bank Besar Indonesia Sudah Jual Dolar Di Atas Rp 15.000