'Gelapnya' Dunia! Ini Ramalan 7 'Suhu' Ekonomi

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
12 October 2022 07:00
Bendera Amerika Serikat

Jakarta, CNBC Indonesia - Resesi dunia sepertinya pasti akan terjadi pada tahun depan, sesuai dengan prediksi banyak institusi di seluruh dunia, termasuk Bank Dunia.

Inflasi tinggi yang melanda berbagai negara, kemudian direspon dengan kenaikan suku bunga yang agresif membuat ekonomi dunia menjadi "gelap".

Inflasi tinggi akan menurunkan daya beli, sementara suku bunga tinggi membuat ekspansi dan belanja konsumen terhambat. Alhasil, resesi pun di depan mata.

Risiko resesi semakin buruk melihat perang Rusia - Ukraina yang tak kunjung usai, justru kini semakin intensif. Perang kedua negara tersebut menjadi salah satu pemicu meroketnya harga minyak mentah, gas alam hingga batu bara.

Alhasil, inflasi energi menjadi gila-gilaan, dan kini sudah menyebar ke berbagai sektor perekonomian.

Inflasi yang 'mendarah daging' tentunya akan memerlukan waktu yang lama untuk kembali turun. Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) sudah menaikkan suku bunga hingga 300 basis poin (bp) di tahun ini menjadi 3% - 3,25%. Meski demikian, inflasi di Amerika Serikat masih tinggi, di atas 8%.

Tak hanya sampai di situ saja, pasar tenaga kerja di AS yang masih cenderung ketat membuat inflasi di AS cenderung sulit untuk diredam.

Sementara, perdebatan resesi telah berkecamuk selama beberapa bulan terakhir, sekitar 90% CEO mengatakan mereka sekarang percaya penurunan akan datang, menurut survei terhadap 400 CEO AS oleh perusahaan konsultan KPMG yang diterbitkan pada Selasa kemarin.

Namun, hal itu tidak menghentikan miliarder, investor, dan pemikir ekonomi paling tajam di dunia untuk secara terbuka menyatakan pandangan mereka tentang apakah AS dan ekonomi global secara resmi sedang atau dengan cepat menuju resesi.

Berikut beberapa pendapat dari para pengamat terkait pembahasan resesi global, dilansir dari Fortune.

1. Jamie Dimon, CEO JPMorgan Chase

CEO JPMorgan Chase, Jamie Dimon pada Senin lalu memperingatkan bahwa kombinasi berita buruk yang "sangat, sangat serius" kemungkinan akan membawa ekonomi AS dan global ke dalam resesi pada pertengahan tahun depan.

Dimon, yang merupakan kepala eksekutif bank terbesar di AS, mengatakan ekonomi AS "sebenarnya masih baik-baik saja" saat ini dan konsumen cenderung berada dalam kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan krisis keuangan global 2008.

"Tetapi Anda tidak dapat berbicara tentang ekonomi tanpa membicarakan hal-hal di masa depan - dan ini adalah hal yang serius," kata Dimon dikutip dari CNBC International, Senin (10/10/2022) lalu di konferensi JPM Techstars di London.

Di antara indikator yang membunyikan bel alarm, Dimon mengungkapkan dampak inflasi yang tidak terkendali, suku bunga naik lebih dari yang diharapkan, efek pengetatan kuantitatif yang tidak diketahui dan perang Rusia di Ukraina.

"Ini adalah hal-hal yang sangat, sangat serius yang menurut saya kemungkinan akan mendorong AS dan dunia, maksud saya, Eropa sudah dalam resesi, dan mereka kemungkinan akan menempatkan AS dalam semacam resesi enam hingga sembilan bulan dari sekarang," kata Dimon.

Komentarnya datang pada saat meningkatnya kekhawatiran tentang prospek resesi ekonomi karena The Fed dan bank sentral utama lainnya menaikkan suku bunga untuk memerangi inflasi yang melonjak.

Dimon mengatakan bahwa sementara The Fed "menunggu terlalu lama dan melakukan terlalu sedikit" karena inflasi melonjak ke level tertinggi empat dekade.

"Dan, Anda tahu, dari sini, mari kita semua berharap dia sukses dan tetap berdoa bahwa mereka berhasil memperlambat ekonomi sehingga apa pun itu, ringan - dan itu mungkin," tambahnya.

Dimon mengatakan dia tidak bisa memastikan berapa lama resesi di AS akan berlangsung, menambahkan bahwa pelaku pasar harus menilai berbagai hasil yang dirilis dengan sangat cermat.

"Itu bisa berubah dari sangat ringan hingga cukup keras dan banyak yang akan bergantung pada apa yang terjadi dengan perang ini. Jadi, saya pikir menebak itu sulit, bersiaplah."

Dimon mengatakan satu-satunya jaminan yang bisa dia yakini adalah pasar yang bergejolak. Dia juga memperingatkan bahwa ini bisa bertepatan dengan kondisi keuangan yang tidak teratur.

2. Carl Icahn, Chairman Icahn Enterprises

Chairman Icahn Enterprises, Carl Icahn telah berulang kali memperingatkan investor tentang kesulitan yang akan datang bagi ekonomi AS.

Dia juga menyalahkan The Fed karena beralih dari kebijakan pelonggaran kuantitatif dan suku bunga mendekati nol selama pandemi ke kebijakan moneter yang lebih ketat yang berfokus pada memerangi inflasi.

"Kami mencetak terlalu banyak uang, dan hanya berpikir pesta tidak akan pernah berakhir," katanya kepada MarketWatch di festival tersebut.

"Pesta sudah selesai," tambah Icahn.

Dalam sambutannya, Icahn bahkan membandingkan masalah inflasi pada tahun 2022 dengan jatuhnya Kekaisaran Romawi lebih dari seribu tahun silam.

"Inflasi adalah hal yang mengerikan. Anda tidak bisa menyembuhkannya," ujar Icahn.

 3. Nouriel Roubini, Ekonom "Dr. Doom"

Menurut ekonom Nouriel Roubini, resesi bisa terjadi di AS pada akhir 2022, atau sebelum menyebar secara global tahun depan dengan potensi untuk bertahan hingga 2023.

"Ini tidak akan menjadi resesi yang pendek dan dangkal, itu akan menjadi parah, panjang, dan buruk," kata Roubini saat wawancara dengan Bloomberg September lalu.

Terkenal karena prediksi ekonominya yang sering suram, ekonom yang juga menjadi profesor Universitas New York dan CEO Roubini Macro Associates ini mendapatkan julukan "Dr. Doom" karena menjadi salah satu yang pertama memprediksi dengan benar kejatuhan pasar perumahan pada 2007-2008.

Roubini memprediksi bakal ada "pendaratan keras yang nyata" di pasar saham, di mana S&P 500 bisa turun 40%.

"Semua bakal layaknya zombie, banyak institusi menjadi zombie, rumah tangga zombie, perusahaan, bank, bank bayangan, dan negara zombie," kata Roubini.

 

4. Kristalina Georgieva, Managing Director IMF

Managing Director Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), Kristalina Georgieva mengatakan bahwa jika ekonomi global secara teknis mengalami penurunan, efeknya masih bisa terasa seperti resesi.

Dalam wawancaranya dengan Bloomberg pada bulan lalu, Georgieva mengatakan kenaikan suku bunga akan "menggigit" dan berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi.

"Untuk ratusan juta orang, ini akan terasa seperti resesi, jadi bersiaplah," kata Georgieva, sebagaimana dikutip dari Fortune.

"Mudah-mudahan, jika kita dapat mengendalikan inflasi, maka kita dapat melihat fondasi untuk pertumbuhan dan pemulihan ekonomi," tambah Georgieva.

Pada Kamis pekan lalu, Georgieva mengungkapkan bahwa IMF sekali lagi akan menurunkan proyeksinya untuk pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2023, dalam sebuah laporan yang akan datang, mengatakan kepada audiens di Universitas Georgetown.

"Risiko resesi meningkat sebagai akibat dari pandemi, meningkatnya inflasi, dan perang Rusia di Ukraina," katanya.

"Beberapa guncangan, di antaranya perang yang tidak masuk akal, mengubah gambaran ekonomi sepenuhnya, jauh dari sementara, inflasi menjadi lebih persisten," tambah Georgieva.

 

5. David Malpass, Presiden Bank Dunia (World Bank)

Semakin banyak lembaga global memperingatkan pemerintah akan resesi global yang akan datang, dan menyerukan negara-negara kaya untuk mempertimbangkan bagaimana upaya mereka untuk mengurangi inflasi di dalam perbatasan mereka berdampak pada ekonomi global yang lebih luas.

Selama pidato di Universitas Stanford minggu lalu, Presiden Bank Dunia (World Bank), David Malpass memperingatkan bahwa "badai sempurna" dari kenaikan suku bunga, inflasi yang tinggi, dan pertumbuhan yang melambat dapat membantu memicu resesi global.

"Kenyataan yang sulit dihadapi ekonomi global, terutama negara berkembang. Serangkaian peristiwa keras dan kebijakan ekonomi makro yang belum pernah terjadi sebelumnya mengancam akan membawa pembangunan ke dalam krisis," kata Malpass, dikutip dari Fortune.

"Ini memiliki konsekuensi bagi kita semua karena sifat ekonomi global dan peradaban yang saling terkait di seluruh dunia," tambah Malpass.

Di bawah kebijakan geopolitik yang memanas saat ini, produksi energi global mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk melakukan diversifikasi dari Rusia setelah invasinya ke Ukraina.

Hal itu berarti "prospek jangka pendek yang sangat menantang" terutama untuk negara berkembang, yang dapat memicu kombinasi pertumbuhan rendah dan inflasi tinggi yang dikenal sebagai stagflasi.

Pada awal September, Bank Dunia mengeluarkan studi yang memprediksi resesi global paling cepat tahun depan.

 

6. Ngozi Okonjo-Iweala, Direktur Jendral WTO

Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) juga telah melukiskan gambaran suram tentang resesi global.

"Indikatornya tidak terlihat bagus, saya pikir resesi globa, itulah yang menurut saya sedang kita hadapi," kata Ngozi Okonjo-Iweala, Direktur Jenderal WTO, dilansir dari Bloomberg.

Dia mengatakan bahwa kombinasi dari kenaikan harga pangan, energi, dan efek berkelanjutan dari perang Rusia di Ukraina dapat mengancam negara-negara di seluruh dunia dan menyebabkan ekonominya kembali menurun.

Pada April lalu, WTO menurunkan ekspektasi untuk pertumbuhan perdagangan barang tahun ini menjadi 3%, turun dari proyeksi sebelumnya sebesar 4,7%. WTO juga memperkirakan akan memangkas proyeksi pertumbuhan perdagangannya di tahun 2022.

 

7. Ken Griffin, CEO Citadel

CEO dari perusahaan hedge fund Citadel, Ken Griffin juga berpikir akan ada resesi kedepannya. Tapi tidak seperti pada investor dan ekonom lainnya, yang telah berpikiran bahwa semuanya karena sikap hawkish The Fed, Griffin cenderung mendukung sikap hawkish The Fed dan dia memberi saran untuk melanjutkan sikap tersebut, bahkan setelah serangkaian kenaikan suku bunga besar baru-baru ini.

"Semua orang suka meramalkan resesi, dan akan ada satu. Namun, waktunya kapan terjadi itu belum dapat diprediksi secara pasti, dan sejujurnya, seberapa sulit," kata Griffin di CNBC Delivering Alpha Investor Summit.

Karena "komponen psikologis terhadap inflasi", Griffin berpendapat bahwa The Fed harus melanjutkan pekerjaannya untuk menurunkan harga konsumen dan "meningkatkan ekspektasi inflasi."

Secara terpisah, dia berpendapat bahwa jika ekonomi AS mengalami resesi kedua begitu cepat setelah pandemi, itu dapat membuat banyak orang Amerika percaya bahwa impian Amerika telah berakhir.

"Menganggur dua kali dalam waktu sesingkat itu, berkurangnya keterampilan kerja, pengalaman karir, tergelincirnya aspirasi masa depan, keyakinan bahwa impian Amerika tidak dapat dicapai-dampak budaya dan nyata itu benar-benar menghancurkan," kata Griffin.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dunia Makin 'Gelap'! Amerika Serikat & Eropa Mengkhawatirkan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular