Dolar AS Tetap Primadona, Rupiah Masih Merana

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
10 October 2022 09:18
Pekerja pusat penukaran mata uang asing menghitung uang Dollar AS di gerai penukaran mata uang asing Dolarindo di Melawai, Jakarta, Senin (4/7/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah lagi melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (10/10/2022). Rilis data tenaga kerja Amerika Serikat pada Jumat pekan lalu baru direspon pasar finansial Indonesia hari ini.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,07% ke Rp 15.260/US$. Depresiasi bertambah menjadi 0,2% ke Rp 15:280/US$ pada pukul 9:07 WIB.

Departemen Tenaga Kerja AS Jumat pekan lalu melaporkan tingkat pengangguran turun menjadi 3,5% pada September dari bulan sebelumnya 3,7%. Kemudian sepanjang September, perekonomian AS menyerap 263.000 tenaga kerja, tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK) secara total, dengan rata-rata kenaikan upah 5% year-on-year(yoy).

Pasca rilis tersebut, pelaku pasar melihat The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 3,75% - 4%, dengan probabilitas lebih dari 80%, berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group.

Di pekan ini, Amerika Serikat akan merilis data inflasi yang juga menjadi salah satu acuan The Fed dalam menaikkan suku bunga. Jika inflasi kembali menanjak akibat pasar tenaga kerja yang kuat, maka The Fed bisa jadi akan terus agresif yang membuat dolar AS melesat dan rupiah tertekan.

"Tingkat pengangguran yang rendah dulu terasa sangat baik. Semua orang yang ingin bekerja akan mendapat pekerjaan. Tetapi kita kini kita berada pada situasi di mana tingkat pengangguran yang rendah menjadi pendorong inflasi," kata Ron Hetrick, ekonom senior di Lightcast, perusahaan penyedia data tenaga kerja, sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat (7/10/2022).

Jika inflasi semakin tinggi, maka akan menjadi konfirmasi perlu waktu lama untuk menurunkannya. Artinya, The Fed bisa menahan suku bunga tinggi lebih lama.

Kemudian, jika inflasi tak kunjung turun, maka stagflasi yang lebih buruk dari resesi akan terjadi. Sebab, saat stagflasi inflasi masih tinggi begitu juga dengan tingkat pengangguran yang berisiko melesat naik.

Dalam kondisi tersebut, dolar AS yang menyandang status safe haven akan menjadi primadona. Masalah semakin besar jika The Fed semakin agresif menaikkan suku bunganya, yield obligasi AS (Treasury) dan indeks dolar AS akan semakin menanjak.

Kenaikan yield Treasury bisa memicu capital outflow dari negara emerging market yang bisa mengganggu stabilitas finansialnya. Sementara indeks dolar AS yang terus melesat naik berisiko membuat mata uang lainnya jeblok.

Alhasil, negara yang sebelumnya tidak mengalami inflasi tinggi bisa mengalami masalah serupa. Malapetaka ekonomi dunia jadi semakin nyata.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular