
Inflasi Nyaris Sentuh 6%, Investor Justru Buru SBN Hari Ini

Jakarta, CNBCIndonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup menguat pada perdagangan Senin (3/10/2022), karena investor semakin khawatir dengan potensi resesi global akibat masih tingginya inflasi dan kenaikan suku bunga bank sentral.
Mayoritas investor kembali memburu SBN pada hari ini, ditandai dengan turunnya yield. Namun, mereka cenderung melepas SBN berjangka pendek yakni tenor 1 dan 3 tahun, di mana imbal hasil (yield) kedua tenor SBN tersebut mengalami kenaikan.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 1 tahun naik 0,4 basis poin (bp) ke posisi 5,587%, sedangkan yield SBN berjangka waktu 3 tahun melonjak 35,7 bp menjadi 6,817%
Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara kembali turun 2,2 bp menjadi 7,358%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Investor memburu pasar obligasi pemerintah RI setelah data inflasi pada September lalu dirilis dan kembali melonjak. Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini mengumumkan jika inflasi secara tahunan (year-on-year/yoy) pada bulan lalu menembus 5,95%.
"Inflasi ini tertinggi sejak Desember 2014," kata Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi pers, Senin (3/10/2022).
Inflasi tinggi pada September juga sesuai dengan perkembangan inflasi di era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sejak menjabat presiden pada Oktober 2014 hingga Agustus 2022, inflasi Indonesia hanya dua kali melewati 1% yakni pada 1,50% (month-to-month/mtm) pada November 2014 dan 2,46% (mtm) pada Desember 2014.
Inflasi periode tersebut melonjak setelah Jokowi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 18 November 2014.Setelah periode inflasi tinggi November dan Desember 2014, Indonesia tidak pernah mengalami inflasi di atas 1% hingga Agustus tahun ini.
Inflasi tinggi merupakan masalah utama di dunia saat ini. Presiden Jokowi berulangkali mengungkapkan bahwa inflasi adalah momok terbesar saat ini oleh semua negara di dunia. Pasalnya, banyak negara di dunia yang tersandung akan inflasi tinggi.
Inflasi ini dipicu oleh kenaikan harga pangan hingga energi, dan perang Rusia-Ukraina yang tak pasti kapan berakhir.
"Pertama yang ingin saya sampaikan momok pertama semua negara saat ini inflasi, inflasi semua negara biasanya hanya 1% sekarang 8%, lebih dari 10% dan bahkan ada lebih dari 80 persen, ada 5 negara," kata Jokowi saat Pengarahan Presiden kepada seluruh Menteri/Kepala Lembaga, Kepala Daerah, Pangdam dan Kapolda di JCC, Jakarta, Kamis (29/9/2022) lalu.
Inflasi yang tinggi memang bisa menimbulkan masalah besar. Daya beli masyarakat bisa tergerus yang pada akhirnya menekan pertumbuhan ekonomi. Jika berlangsung lama, maka risiko stagflasi pun menghantui.
Sementara itu dari AS, yield obligasi pemerintah (US Treasury) juga cenderung kembali melandai pada pagi hari ini waktu AS.
Dilansir dari CNBC International, yield Treasury tenor 2 tahun turun 4 bp menjadi ke 4,169%. Sedangkan untuk yield Treasury berjangka menengah yang juga menjadi benchmark obligasi pemerintah Negeri Paman Sam, yakni tenor 10 tahun juga melandai 5 bp menjadi 3,754%.
Pasar memulai kuartal terakhir tahun ini pada hari ini, dengan investor masih mencerna akhir negatif kuartal ketiga yang membuat pasar saham AS masih mencatatkan koreksi yang dalam.
Kekhawatiran investor terhadap potensi resesi global menjadi penyebab investor memburu kembali obligasi pemerintah pada hari ini, di mana kekhawatiran ini terjadi setelah mayoritas bank sentral dunia mengetatkan kebijakan moneternya dengan kompak menaikkan suku bunga acuan untuk meredam 'tsunami' inflasi yang melanda di berbagai negara di dunia.
Padahal, perekonomian AS secara teknis sudah memasuki zona resesi. Berdasarkan data dari Biro Analisis Ekonomi AS yang dirilis Kamis pekan lalu, ekonomi AS mengalami kontraksi 0,6% secara tahunan pada kuartal II-2022, tak berubah dari pembacaan awal pada akhir Juli lalu.
Data tersebut mengonfirmasi bahwa AS telah memasuki resesi secara teknis menyusul kontraksi 1,6% pada kuartal I-2022.
Namun, tampaknya hal tersebut tidak menghentikan komitmen bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) untuk membawa turun inflasi ke targetnya di 2%.
Adapun menurut Wakil Ketua The Fed, Lael Brainard, pada Jumat lalu menggaris bawahi perlunya menurunkan inflasi dan mengatakan bahwa The Fed berkomitmen untuk menghindari penurunan suku bunga acuannya sebelum waktunya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasar SBN Masih Diburu Investor, Yieldnya Turun Lagi