Rupiah Nyaris Tembus Rp 15.200/US$, Jadi Sinyal Resesi 2023?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
Rabu, 28/09/2022 09:07 WIB
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) di awal perdagangan Rabu (28/9/2022), semakin mendekati Rp 15.200/US$. Isu resesi dan kenaikan suku bunga bank sentral AS (The Fed) masih menjadi penggerak utama pasar mata uang.

Begitu perdagangan dibuka, rupiah langsung melemah 0,2% ke Rp 15.150/US$ di pasar spot, melansir data Refinitiv. Depresiasi semakin membengkak menjadi 0,46% ke Rp 15.190/US$ pada pukul 9:04 WIB.

Resesi dunia di 2023 sepertinya akan menjadi nyata. Dalam kondisi demikian, dolar AS yang menyandang status safe haven menjadi primadona yang membuat rupiah terus tertekan.


Banyak analis dan ekonom yang memprediksi perekonomian dunia akan mengalami resesi, begitu juga dengan Meteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Resesi ini dipicu oleh inflasi yang tinggi akibat melesatnya harga pangan dan energi di sejumlah negara, khususnya Eropa dan AS. Inflasi tinggi memicu bank sentral di negara maju menaikkan suku bunga dan mengetatkan likuiditas.

Sri Mulyani menegaskan kebijakan tersebut akan berdampak bagi pertumbuhan ekonomi dunia. Bahkan, negara berkembang pun ikut merasakan efeknya.

"Kalau bank sentral di seluruh dunia meningkatkan suku bunga cukup ekstrem dan bersama-sama, dunia mengalami resesi di 2023," ujarnya, dalam Konferensi Pers APBN KITA Agustus, Senin (26/9/2022).

"Kenaikan suku bunga bank sentral di negara maju cukup cepat dan ekstrem dan memukul pertumbuhan negara-negara tersebut," lanjut Sri Mulyani.

Analis dari Wells Fargo memperkirakan kenaikan suku bunga The Fed akan yang lebih tinggi lagi.

Sebelumnya, Wells Fargo memperkirakan kenaikan 100 basis poin antara sekarang dan awal tahun depan, tetapi kini mereka memperkirakan sekitar 175 bps.

Para analis Wells Fargo memperkirakan suku bunga akan mencapai 4,75%-5,00% pada kuartal pertama 2023, termasuk kenaikan 75 bps pada pertemuan 2 November dan kenaikan 50 bps pada pertemuan kebijakan 14 Desember.

"Ekonomi menunjukkan tanda-tanda ketahanan, yang akan memerlukan lebih banyak pengetatan moneter untuk memperlambat pertumbuhan cukup untuk membawa inflasi kembali ke target Fed 2%," kata para analis, yang dipimpin oleh kepala ekonom Jay Bryson yang dikutip dari Reuters.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Perang Bikin Rupiah Anjlok, Tembus Rp 16.400-an per Dolar AS