
Fed Beri Sinyal Naikkan Lagi Suku Bunga, Bagaimana Ekonomi RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham AS jatuh pada pembukaan perdagangan Selasa (20/9) pagi waktu New York karena investor masih waswas menantikan keputusan kebijakan The Fed.
Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) memulai pertemuan September pada Selasa, di mana para pejabat sentral diperkirakan akan mengumumkan kenaikan suku bunga 75 bps pada Rabu waktu setempat atau Kamis dini hari waktu Indonesia.
Pasar saham AS telah jatuh dalam beberapa pekan terakhir karena komentar dari Ketua Fed Jerome Powell dan laporan indeks harga konsumen atau inflasi Agustus yang urung mendingin menyebabkan para pedagang dan investor bersiap untuk kenaikan suku bunga ke tingkat yang lebih tinggi sampai inflasi dapat dikendalikan.
Meski demikian, ekonomi Indonesia dinilai cukup kuat dalam menghadapi kenaikan suku bunga The Fed. Hal ini terlihat dari prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup baik, meski nantinya juga ada ancaman resesi.
Ekonom Senior, Anton Hermanto Gunawan mengungkapkan melihat PDB RI di akhir 2022 masih bisa di kisaran 5%. Namun, tahun depan, dia melihat ekonomi berpotensi mengalami tekanan seiring dengan ancaman resesi global.
Meskipun, efek resesi global tidak akan signifikan terhadap ekonomi Indonesia, tetapi penurunan itu tetap ada. "Walau tidak akan besar untuk Indonesia, tapi bisa membawa growth Indonesia sedikit di bawah 5%," ungkapnya dalam Power Lunch, CNBC Indonesia, Selasa, (20/9/2022).
Seperti diketahui, konsumsi dan ekspor menjadi penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Konsumsi, katanya, akan dipengaruhi oleh efek secondary dari inflasi.
Sementara itu, ekspor Indonesia akan bergantung pada pergerakan harga komoditas global.
"Tahun depan kalau terjadi resesi, kita mengkhawatirkan harga-harga commodity termasuk permintaan commodity pun akan cenderung menurun," paparnya.
Satu-satunya hal yang bisa diharapkan pada tahun depan adalah investasi. Seperti diketahui, Indonesia telah menerbitkan UU Cipta Kerja. Anton berharap UU ini dapat menjadi basis bagi pertumbuhan investasi ke depannya.
"Tapi kalau itu terhambat lagi daya dorong untuk Indonesia itu akan sedikit banyak terhambat ditambah dengan adanya resesi yang mengurangi net ekspor kita," kata Anton.
Ekonom Bank Mandiri, Dian Ayu Yustina menyebutkan dampak perang di tengah pandemi telah memberikan risiko perlambatan ekonomi dunia. Namun, risiko rambatan terhadap ekonomi Indonesia diperkirakan tidak akan signifikan.
"Kalau hanya perlambatan ekonomi global, saya pikir dampaknya tentunya ada tapi tidak akan terlalu besar karena basis konsumsi kita cukup besar," kata Dian, dalam Power Lunch, CNBC Indonesia, dikutip Selasa (20/9/2022).
Menurutnya, porsi masyarakat kelas menengah di Tanah Air cukup besar. Sementara itu, Indonesia tengah berada dalam fase pemulihan. Dia melihat masyarakat masih berbelanja dan melakukan perjalanan.
Hal ini dapat menopang ekonomi Indonesia ke depannya. "Kalau ada potensi perlambatan kami pikir tidak akan besar mungkin sekitar -0,1 atau -0,2%. Misalnya dari 5,2% menjadi 5%," ujarnya.
Direktur Celios Bhima Yudhistira memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan akan sulit mencapai 5%.
"Sepertinya cukup menantang untuk tumbuh 5% proyeksinya 4,6-4,9% yoy," kata Bhima. Dia mengingatkan dampak resesi global Indonesia dari sisi perdagangan.
"Kalau terjadi resesi secara global, surplus perdagangan yang selama ini dibangga-banggakan itu bisa berubah menjadi defisit perdagangan," ujarnya.
Hal ini harus diantisipasi karena akan mengurangi pendapatan masyarakat. Dia menilai masyarakat yang rentan miskin di Indonesia cukup besar dan itu yang paling terdampak jika gejolak terjadi sehingga kelompok ini juga harus diberikan perlindungan sosial.
"Bukan hanya masyarakat miskin, masyarakat rentan miskin juga harus diberikan bansos," ungkapnya.
(vap/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article The Fed Naikkan Suku Bunga 75 Bps, Ekonomi RI Kuat Hadapi?