
Suku Bunga The Fed Bisa 3,25% Pekan Depan, Rupiah Jeblok!

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah jeblok melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (14/9/2022), dan kembali ke atas Rp 14.900/US$. Rilis data inflasi di AS yang masih tinggi memicu spekulasi The Fed (bank sentral AS) akan menaikkan suku bunga sebesar 100 basis poin.
Melansir data Refinitiv, begitu perdagangan dibuka rupiah langsung jeblok 0,47% ke Rp 14.920/US$. Depresiasi semakin membengkak menjadi 0,59% ke Rp 14.938/US$.
Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.905/US$, melemah 0,37% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Departemen Tenaga Kerja AS kemarin melaporkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) Agustus sebesar 8,3% year-on-year (yoy). Dengan demikian, inflasi di Amerika Serikat sudah menurun dalam 2 bulan beruntun.
Namun, rilis inflasi tersebut masih lebih tinggi dari ekspektasi pasar sebesar 8%.
Dengan inflasi yang masih tinggi, The Fed hampir pasti akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin bahkan ada kemungkinan sebesar 100 basis poin pekan depan.
Hal ini terlihat dari perangkat FedWatch milik CME Group, di mana pasar melihat probabilitas sebesar 67% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin, dan probabilitas sebesar 33% untuk kenaikan 100 basis poin. Jika menaikkan 100 basis poin, maka suku bunga The Fed akan berada di kisaran 3,25% - 3,5% pada pekan depan, saat pengumuman rapat kebijakan moneter.
Alhasil, dolar AS menjadi sangat perkasa.
Tidak hanya rupiah, yen Jepang juga terpuruk hingga ke level terlemah dalam 24 tahun terakhir.
Pagi tadi yen menyentuh JPY 144.95/US$, melemah 0,28% di pasar spot, yang merupakan level terlemah sejak September 1998.
Kemarin yen jeblok hingga 1,2% dan sepanjang tahun ini pelemahnya sekitar 25%.
Meski nilai tukar yen jeblok, tetapi bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) diperkirakan belum akan merubah kebijakannya.
Kurs yen yang merosot tajam bisa menguntungkan bagi perekonomian Jepang, ekspor bisa melonjak signifikan. Tetapi di sisi lain, inflasi berisiko melesat tinggi yang bisa menjadi masalah serius, apalagi jika sampai mendarah daging.
BoJ kini menjadi satu-satunya bank sentral utama yang belum mengetatkan kebijakan moneternya. Sebelumnya ada bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) yang masih alam menahan suku bunganya, tetapi kini sudah berubah menjadi agresif.
"BoJ tidak secara langsung menargetkan mata yang dalam kebijakan moneternya. Pergerakan yen dilihat dari dampaknya ke perekonomian dan inflasi," kata salah satu sumber terkait yang dikutip Reuters, Selasa (13/9/2022).
BoJ masih mempertahankan suku bunga sebesar minus (-) 0,1%, dan yield curve control (YCC), di mana obligasi tenor 10 tahun imbal hasilnya dijaga dekat 0%.
Dengan kebijakan YCC, ketika imbal hasil obligasi tenor 10 tahun menjauhi 0%, maka BoJ akan melakukan pembelian. Artinya, "menyuntikkan" likuiditas ke perekonomian.
"Kondisi ekonomi saat ini tidak menjustifikasi perubahan kebijakan ultra longgar," tambah sumber tersebut.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
