
Eropa & Inggris 'Kiamat' Mata Uang, Rupiah Malah Gemilang

Jakarta, CNBC Indonesia - Eropa dan Inggris sedang dilanda 'kiamat' mata uang. Nilai tukar euro dan poundsterling ambrol ke level terlemah puluhan tahun melawan dolar Amerika Serikat (AS). Sementara rupiah justru mampu menguat pada perdagangan Kamis (8/9/2022). Meski di pekan ini pergerakannya juga berfluktuasi dengan penguatan atau pun pelemahan tipis-tipis saja.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,17% ke Rp 14.890/US$ di pasar spot.
Sebelumnya pada Selasa lalu kurs euro jeblok ke US$ 0,9862, terlemah sejak Desember 2002.Sepanjang tahun ini euro sudah jeblok sekitar 13% melawan dolar AS.
Untuk diketahui Mata uang euro secara resmi mulai digunakan dalam bentuk giral pada 1 Januari 1999. Sejak peluncurannya tersebut, nilai euro menurun dan menyentuh level terlemah US$ 0,8225 pada 26 Oktober 2000. Namun,sejak awal 2003, euro sebenarnya tidak pernah berada di bawah level paritas (EUR 1 = US$ 1).
Artinya mata uang 19 negara ini semakin dekat dengan rekor terlemah sepanjang sejarah.
Poundsterling Inggris pun menyusul, Kamis kemarin ambruk ke level terlemah dalam 37 tahun terakhir melawan dolar AS.
Outlook perekonomian Inggris yang 'gelap gulita' memicu jebloknya poundsterling. Kemarin poundsterling sempat merosot nyaris 1% ke US$ 1,1403 yang merupakan level terendah Maret 1985, berdasarkan data Refinitiv. Sepanjang tahun ini poundsterling jeblok hingga 15%.
Rekor terlemah sterling tercatat di US$ 1,0520 yang tercatat pada 26 Februari 1985.
Sementara itu melawan rupiah, poundsterling jeblok nyaris 11%, berada di Rp 14.174/GBP, terendah sejak September 2019.
Eropa termasuk Inggris sama-sama menghadapi masalah inflasi tinggi. Inflasi di zona euro tercatat melesat 9,1% year-on-year (yoy) pada Agustus, yang merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Kemudian inflasi di Inggris meroket 10,1% (yoy) tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
Dengan nilai tukar euro dan poundsterling yang jeblok, ada risiko inflasi akan semakin tinggi. Bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) dan Bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) tentunya akan terus agresif menaikkan suku bunga.
Inflasi tinggi akan menggerus data beli masyarakat, apalagi ditambah dengan suku bunga yang tinggi. Ekspansi dunia usaha juga akan terhambat, alhasil resesi semakin nyata.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
