
Inflasi RI & Global Berpotensi Meninggi, Harga SBN Melemah

Jakarta, CNBCIndonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup melemah pada perdagangan Rabu (7/9/2022), di tengah kekhawatiran investor akan masih meningginya inflasi global.
Mayoritas investor melepas SBN pada hari ini, ditandai dengan kenaikan imbal hasil (yield). Namun untuk SBN tenor 1, 3, dan 30 tahun masih ramai diburu oleh investor, ditandai dengan turunnya yield.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 1 tahun melandai 6,9 basis poin (bp) ke posisi 4,626%. Sedangkan yield SBN tenor 3 tahun turun 0,3 bp ke 6,203%, dan yield SBN berjangka waktu 30 tahun menurun 1,6 bp menjadi 7,283%.
Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara kembali naik 1,9 bp ke posisi 7,201%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Dari dalam negeri, pelaku pasar juga tengah mengantisipasi dampak dari dari kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Jika melihat kondisi sosial, kisruh masih terus berlanjut. Aksi di depan gedung DPR RI masih akan diperkirakan terjadi hingga 10 September mendatang.
Sementara dari sisi inflasi, mengikuti kenaikan harga BBM tersebut, ekonom melihat potensi kenaikan inflasi tahun ini yang bakal melebihi ambang batas pemerintah dan Bank Indonesia (BI), yakni 4%. Kenaikan inflasi ini menjadi fokus besar pemerintah karena dikhawatirkan akan mengikis daya beli.
Inflasi diproyeksikan bisa menyentuh kisaran 6-7% secara tahunan (year-on-year/yoy). Kenaikan inflasi tersebut akan memicu kebijakan moneter yang lebih ketat dengan ekspektasi kenaikan suku bunga di kisaran 75-100 basis poin (bp) tahun ini.
Sementara itu, BI melaporkan cadangan devisa RI pada Agustus 2022. Hasilnya tidak ada perubahan, cadangan devisa pada akhir bulan lalu sebesar US$ 132,2 miliar, sama dengan posisi akhir Juli.
Meski demikian, cadangan devisa tersebut bisa saja bertambah jika rupiah tidak mengalami tekanan. Hal tersebut terindikasi dari pernyataan BI.
"Perkembangan posisi cadangan devisa pada Agustus 2022 antara lain dipengaruhi oleh penerimaan pajak dan jasa, penerimaan devisa migas, di tengah kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar Rupiah sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global," tulis BI dalam keterangan resminya, Rabu (7/9/2022).
Sementara itu dari Amerika Serikat (AS), yield obligasi pemerintah (US Treasury) cenderung melandai pada pagi hari ini, di tengah sikap investor yang menanti analisis ekonomi baru dari bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).
Dilansir data dari CNBC International, yield Treasury tenor 2 tahun melandai 2,5 bp menjadi 3,476%, sedangkan yield Treasury tenor 10 tahun juga turun 1 bp ke posisi 3,33%.
Sentimen pasar masih terkait kebijakan suku bunga acuan The Fed yang masih akan hawkish. Akhir bulan ini, The Fed akan kembali mengumumkan kebijakan suku bunga acuannya.
Pelaku pasar mengantisipasi The Fed akan mengerek suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin (bp) dengan probabilitas mencapai 72%.
Saat ini pasar tengah mengantisipasi kebijakan moneter tersebut. Namun di tengah ancaman resesi ekonomi AS, beberapa pelaku pasar juga mulai mengantisipasi akan adanya pemangkasan suku bunga acuan pada 2023 nanti.
Selain The Fed, dalam waktu dekat investor juga menanti kebijakan moneter bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB). Kamis pekan ini, para bos ECB akan bertemu dan memutuskan suku bunga acuan mereka.
Konsensus yang dihimpun oleh Trading Economics memperkirakan ECB akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bp) menjadi 1,25%.
Ekspektasi tersebut selain merespons tekanan inflasi yang tinggi juga berpotensi masih akan meningkat. Apalagi Rusia kini semakin membatasi pasokan gas untuk Eropa.
'BUMN' gas Rusia, Gazprom menyatakan akan menghentikan aliran gas ke Eropa sampai waktu yang belum diketahui dengan alasan perawatan (maintenance).
Saksi ekonomi yang diberikan oleh Barat menjadi penyebab diberhentikannya pasokan gas ke Negeri Beruang Merah ini hingga waktu yang belum ditentukan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasar SBN Masih Diburu Investor, Yieldnya Turun Lagi