Jokowi Sebut Perang Masih Akan Lama, Rupiah Apa Kabar?
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (7/9/2022). Indeks dolar AS yang terus menguat membuat rupiah tertekan. Selain itu, salah satu faktor yang membuat rupiah tertekan, yakni ketidakpastian global akibat perang Rusia - Ukraina diperkirakan akan berlangsung lama oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Rupiah langsung melemah begitu perdagangan dibuka, dan sempat menyentuh Rp 14.933/US$, melemah 0,33%, melansir data Refinitiv. Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.915/US$, melemah 0,2% di pasar spot.
Perang Rusia-Ukraina masih akan berlangsung lama. Karena itu, menghitung dampaknya masih masih sulit, termasuk efek dominonya.
Di mana, efeknya sudah memicu kenaikan harga pangan di seluruh negara, lonjakan harga gas 5 kali lipat dan minyak 2 kali lipat. Seperti diketahui, tingginya harga energi menjadi pemicu utama 'tsunami' inflasi di berbagai negara.
Sinyal itu diperoleh Jokowi usai bertemu Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan Presiden Rusia Vladimir Putin beberapa waktu lalu.
"Dari diskusi, bicara, ketemu 2 Presiden tadi saya simpulkan bahwa keadaan ini akan berjalan masih lama lagi. Jangan berharap perang itu besok atau bulan depan selesai. Sangat tidak mudah," kata Jokowi saat membuka Sarasehan 100 Ekonom Indonesia 2022 CNBC Indonesia bersama INDEF di Menara Bank Mega, Jakarta, Rabu (7/9/2022).
Tingginya inflasi membuat bank sentral AS (The Fed) agresif menaikkan suku bunga. Indeks dolar AS pun terus melesat.
Kemarin, indeks dolar AS menguat 0,35% ke 110,21, bahkan sempat menyentuh 110,55 yang merupakan rekor tertinggi sejak Juni 2002. Sore ini, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS sempat menguat lagi ke 110,69.
Penguatan indeks dolar AS tersebut terjadi setelah rilis data purchasing managers' index (PMI) sektor jasa yang naik 56,9 pada Agustus, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 56,7. PMI sektor jasa kini menanjak dalam 2 bulan beruntun setelah menurun 3 bulan.
Rilis tersebut menunjukkan perekonomian Amerika Serikat masih kuat dan The Fed akan tetap agresif dalam menaikkan suku bunga. Apalagi Departemen Tenaga Kerja AS Jumat pekan lalu melaporkan sepanjang bulan Agustus, perekonomian AS dilaporkan mampu menyerap tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls/NFP) sebesar 315.000 orang, sedikit di bawah estimasi Dow Jones 318.000 orang.
Meski demikian, data tersebut sudah cukup menunjukkan jika pasar tenaga kerja AS masih kuat meski The Fed sudah 4 kali menaikkan suku bunga dengan total 225 basis poin menjadi 2,25% - 2,5%.
Tingkat pengangguran dilaporkan naik menjadi 3,7% sementara rata-rata upah naik 0,3% month-on-month dan 5,2% year-on-year.
Data tenaga kerja bulan Agustus menjadi penting, sebab akan menjadi pertimbangan bank sentral AS (The Fed) sebelum kembali menaikkan suku bunga bulan ini.
"Orang-orang sadar perekonomian Amerika Serikat sedang melambat, tetapi itu tidak seburuk negara lain," kata Marc Chandler, kepala strategi pasar di Bannockburn Global Forex, sebagaimana dilansir CNBC International.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)