Tak Ada Sentimen Positif, IHSG Sesi I Ditutup Terkoreksi!
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir terkoreksi pada penutupan perdagangan sesi I Rabu (7/9/2022) pasca menguat tiga hari beruntun di tengah banyaknya sentimen negatif baik dari dalam negeri maupun mancanegara.
IHSG dibuka melemah 0,32% di posisi 7.210,28 dan ditutup di zona merah dengan koreksi 0,57% atau 41 poin ke 7.192,16 pada penutupan perdagangan sesi pertama pukul 11:30 WIB. Nilai perdagangan tercatat naik ke Rp 9,27 triliun dengan melibatkan lebih dari 25 miliar saham.
Menurut data PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Sejak perdagangan dibuka IHSG sudah berada di zona merah. Selang 5 menit perdagangan IHSG memangkas koreksi menjadi 0,14% di 7.222,51. Pukul 09:20 WIB IHSG terpantau sempat berbalik ke zona hijau, sesaat setelah itu indeks galau menentukan arah geraknya sebelum akhirnya di tarik ke zona merah hingga penutupan perdagangan sesi I.
Level tertinggi berada di 7.243,52 sekitar pukul 09:20 WIB sementara level terendah berada di 7.166,63 sekitar pukul 10:30 WIB. Mayoritas saham siang ini melemah yakni sebanyak 328 unit, sedangkan 192 unit lainnya menguat, dan 169 sisanya stagnan.
Saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) menjadi saham yang paling besar nilai transaksinya hari ini, yakni mencapai Rp 1,1 triliun. Sedangkan saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk menyusul di posisi kedua dengan nilai transaksi mencapai Rp 512,9 miliar dan saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) di posisi ketiga sebesar Rp 346,9 miliar.
Pergerakan IHSG siang ini mengekor Wall Street yang kembali terkoreksi pada perdagangan semalam serta bursa Asia-Pasifik yang dibuka cenderung melemah.
Sentimen masih terkait kebijakan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) yang masih akan hawkish. Akhir bulan ini, The Fed akan kembali mengumumkan kebijakan suku bunga acuannya. Pelaku pasar mengantisipasi The Fed akan mengerek suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin (bps) dengan probabilitas mencapai 72%.
Saat ini pasar tengah mengantisipasi kebijakan moneter tersebut. Namun di tengah ancaman resesi ekonomi AS, beberapa pelaku pasar juga mulai mengantisipasi akan adanya pemangkasan suku bunga acuan pada 2023 nanti.
Selain The Fed, dalam waktu dekat investor juga menanti kebijakan moneter bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB). Kamis pekan ini, para bos ECB akan bertemu dan memutuskan suku bunga acuan mereka.
Konsensus yang dihimpun olehTrading Economicsmemperkirakan ECB akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bp) menjadi 1,25%. Ekspektasi tersebut selain merespons tekanan inflasi yang tinggi juga berpotensi masih akan meningkat. Apalagi Rusia kini semakin membatasi pasokan gas untuk Eropa.
Apalagi saat ini Gazprom menyatakan akan menghentikan aliran gas ke Eropa sampai waktu yang belum diketahui dengan alasan perawatan (maintenance). Saksi ekonomi yang diberikan oleh Barat menjadi penyebab diberhentikannya pasokan gas ke Negeri Beruang Merah ini hingga waktu yang belum ditentukan.
Dari dalam negeri, pelaku pasar juga tengah mengantisipasi dampak dari dari kenaikan BBM ini. jika melihat kondisi sosial, kisruh masih terus berlanjut. Aksi di depan gedung DPR masih akan diperkirakan terjadi hingga 10 September mendatang.
Sementara dari sisi inflasi, mengikuti kenaikan harga BBM tersebut, ekonom melihat potensi kenaikan inflasi tahun ini yang bakal melebihi ambang batas pemerintah dan Bank Indonesia (BI), yakni 4%. Kenaikan inflasi ini menjadi fokus besar pemerintah karena dikhawatirkan akan mengikis daya beli.
Inflasi diproyeksikan bisa menyentuh kisaran 6-7% year-on-year (yoy). Kenaikan inflasi tersebut akan memicu kebijakan moneter yang lebih ketat dengan ekspektasi kenaikan suku bunga di kisaran 75-100 basis poin (bps) tahun ini.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa bulan Agustus. Hasilnya tidak ada perubahan, cadangan devisa pada akhir bulan lalu sebesar US$ 132,2 miliar, sama dengan posisi akhir Juli.
Meski demikian, cadangan devisa tersebut bisa saja bertambah jika rupiah tidak mengalami tekanan. Hal tersebut terindikasi dari pernyataan BI.
"Perkembangan posisi cadangan devisa pada Agustus 2022 antara lain dipengaruhi oleh penerimaan pajak dan jasa, penerimaan devisa migas, di tengah kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar Rupiah sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global," tulis BI dalam keterangan resminya, Rabu (7/9/2022).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aum/aum)