
Awas! Ini Bahaya Yang Mengintai Saat Suku Bunga Acuan Tinggi

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) akhirnya menaikkan suku bunga acuannya BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI 7 DRR) sebesar 25 basis poin Selasa lalu. Ini menjadi kali pertama sejak 2018 BI mengerek suku bunganya.
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 22-23Agustus2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 3%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,5%," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam jumpa pers usai RDG, Selasa (23/8/2022).
Terbilang mengejutkan karena konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia menunjukkan dari 15 institusi yang terlibat, sebanyak 13 memprediksi suku bunga akan ditahan. Hanya 2 yang melihat suku bunga akan dinaikkan 25 basis poin.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan kenaikan ini merupakan langkah pre-emptive dan forward looking untuk menjangkar ekspektasi inflasi inti akibat kenaikan BBM nonsubsidi dan volatile food.
Selain itu, keputusan ini dilakukan dalam rangka memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai fundamental dengan tingginya ketidakpastian global yang semakin kuat.
Dalam kondisi saat ini, ketika berhadapan dengan inflasi yang tinggi, maka kenaikan suku bunga memang diperlukan.
Ketika suku bunga naik, maka demand pull inflation akan mereda. Sehingga inflasi tidak lepas kendali. Langkah BI untuk menjangkar inflasi memang tepat, jika sampai lepas kendali maka suku bunga harus dikerek dengan agresif seperti di negara-negara lain.
Hal ini lah yang memunculkan risiko besar. Inflasi tinggi dan suku bunga juga tinggi menjadi "duet" maut yang akan membawa perekonomian merosot, bahkan isu resesi sudah lama menghantui.
Contoh nyata pernah terjadi di Indonesia. Pada tahun 2013 pemerintah menaikkan harga BBM Premium di bulan Juni 2013 yang memicu kenaikan inflasi hingga 8,38% year-on-year (yoy).
Kenaikan inflasi tersebut membuat nilai tukar rupiah tertekan hingga menembus ke atas Rp 10.000/US$. Pelemahan rupiah diperparah dengan isu tapering oleh bank sentral AS (The Fed).
Alhasil, BI harus mengerek suku bunganya sebanyak 5 kali dengan total 175 basis poin menjadi 7,5%.
Pada 2014, pemerintah kembali menaikkan harga Premium pada November sebesar 30%, yang kembali memicu kenaikan inflasi sebesar 8,36% (yoy).
BI pun kembali menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 7,75%.
Tidak hanya rupiah, inflasi yang tinggi juga bisa berdampak buruk ke perekonomian. Daya beli masyarakat bisa tergerus. Sedangkan, konsumsi rumah tangga merupakan kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi, yakni sekitar 54%.
Di sisi lain, suku bunga tinggi membuat ekspansi dunia usaha melambat,
Alhasil pelambatan ekonomi pun terjadi. Di kuartal II-2014, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 4,94% (yoy). Untuk pertama kalinya sejak kuartal III-2009, Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi di bawah 5%. Setelahnya, PDB Indonesia mayoritas di bawah 5%.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Bunga KPR Mahal, PHK Massal
Kenaikan suku bunga acuan tentunya memicu kenaikan suku bunga kredit, hal ini tentunya membebani masyarakat.
Suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) berisiko naik. Contoh nyata saat ini terjadi di Australia.
Di awal bulan ini, Bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) kembali menaikkan suku bunga acuanya pada. Dengan demikian, RBA di bawah pimpinan Gubernur Philip Lowe sudah menaikkan suku bunga dalam 4 bulan beruntun.
RBA menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 1,85%, menjadi yang tertinggi dalam 6 tahun terakhir.
Menteri Keuangan Australia, Jim Chalmers, bahkan mengatakan kenaikan tersebut membuat hidup warga Australia jadi susah.
Dilaporkan, warga Australia yang memiliki nilai KPR AU$ 620.000, maka cicilannya akan naik sebesar AU$ 560. Cicilan tersebut tentunya akan semakin tinggi jika suku bunga terus naik.
"Kenaikan suku bunga tidak mengejutkan siapa pun, tetapi kami tetap melihat rumah tangga harus mengambil keputusan yang sulit untuk bisa menyeimbangkan anggaran rumah tangga. Apalagi saat ini sudah ada tekanan dari tingginya harga bahan makanan dan kebutuhan pokok lainnya," kata Chalmers.
Selain itu, ketika perekonomian melambat bahkan mengalami resesi, maka pemutusan kerja masal (PHK) bisa terjadi.
Di Australia, PHK massal bahkan sudah terjadi meski perekonomiannya masih kuat.
Pada Jumat (19/8/2022) lalu, Biro Statistik Australia melaporkan sepanjang bulan Juli terjadi PHK atau pun berhenti bekerja sebanyak 40.900 orang. Ini merupakan kali pertama terjadi sejak Oktober 2021.
"Ini pertama kalinya jumlah orang yang bekerja mengalami penurunan sejak Oktober 2021, setelah terjadi pelonggaran lockdown akibat Covid-19 varian Delta pada akhir 2021 lalu," kata Bjorn Jarvis, kepala Biro Statistik Australia, sebagaimana dilansir ABC News.
PHK paling parah terjadi pada April 2020 lalu, di saat awal pandemi Covid-19. Saat itu, lebih dari 600 ribu orang dirumahkan. Bulan berikutnya, nyaris 280 ribu orang juga dirumahkan.
Ekonom senior di AMP Capital, Diana Mousiana, mengatakan rilis data tersebut menjadi indikasi awal jika pasar pasar tenaga kerja sudah mencapai puncaknya.
"Saya rasa kita berada di titik balik perekonomian, di mana data menunjukkan sentimen konsumen, tingkat keyakinan bisnis, leading indikator, sudah mulai melambat," kata Mousiana.
"Beberapa leading indikator pertumbuhan tenaga kerja juga melambat, seperti niat untuk merekrut karyawan, hingga pembukaan lapangan kerja," tambahnya.
Mousiana menilai, rilis data tenaga kerja seharusnya membuat RBA untuk memberikan jeda kenaikan suku bunga pada bulan depan.
"Saya pikir ada manfaatnya untuk bagi RBA untuk memperlambat laju kenaikan suku bunga dan melihat dampaknya ke konsumen serta perekonomian yang lebih luas," ujar Mousiana.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Amankan Isi Dompet! Dalam 12 Bulan Bisa Terjadi Resesi Dunia