Wall Street Terperangkap Bear Market, IHSG Kok Masih Aman?
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan global berada dalam kondisi kurang optimal akibat dihantam inflasi panas yang memaksa bank sentral banyak negara mengerek suku bunga acuannya.
Alhasil, mayoritas bursa saham global mencatatkan kinerja negatif tahun ini, termasuk pasar ekuitas terbesar Wall Street yang saat ini masih terperangkap dalam bear market.
Tren bearish (bear market) ditandai dengan penurunan harga saham 20% dari level tertinggi terbaru. Sementara itu tren bullish (bull market) ditandai dengan kenaikan harga saham 20% dari level terendah.
Dua dari tiga indeks utama AS telah tersungkur masuk ke tren bearish tahun ini. Meski demikian Nasdaq yang sempat turun lebih dari 30% dari posisi puncaknya, terburuk sejak pelemahan 54% tahun 2008, kini indeks padat teknologi tersebut resmi keluar dari tren bearish dan mulai masuk bull market dua pekan lalu, menyusul reli yang tak terduga di Wall Street.
Pada penutupan perdagangan 8 Agustus, indeks Nasdaq secara resmi menguat 20% dari level terendahnya baru-baru ini. Sementara itu S&P 500 yang juga mengalami reli serupa masih belum mampu keluar dari tren bearish.
Akhir pekan lalu saham Wall Street jatuh dan mengakhiri kenaikan empat minggu beruntun, karena investor kembali menebak-nebak seberapa agresif gerakan Federal Reserve untuk menjinakkan inflasi.
Sebelumnya, ketika reli empat minggu dimulai, banyak investor merasa yakin bahwa inflasi mungkin telah mencapai puncaknya dan bahwa bank sentral akan melunakkan besaran kenaikan suku bunga.
Akan tetapi hal tersebut kembali menjadi teka-teki setelah The Fed memberikan sinyal berbeda. Saat ini pejabat bank sentral AS akan mengadakan pertemuan tahunan di Jackson Hole, dengan investor wait and see dan akan mencermati hasil rapat tersebut.
Pasar keuangan akan membaik?
Sepanjang musim panas ini, investor di seluruh pasar keuangan semringah. Harga mengalami kenaikan untuk segala jenis kelas aset, mulai dari obligasi, yang cenderung menarik investor yang lebih konservatif dan lebih tua, hingga mata uang kripto, yang pedagangnya banyak diisi kaum muda yang tidak takut menerima risiko besar.
Harapan bahwa Federal Reserve mungkin tidak akan menaikkan suku bunga seagresif sebelumnya menjadi bahan bakar utama kenaikan aset investasi beberapa waktu terakhir.
The Fed telah menaikkan suku bunga jangka pendek empat kali pada tahun 2022, setelah mempertahankannya di level terendah selama dua tahun karena pandemi. Ketakutan di Wall Street adalah bahwa percepatan inflasi akan memaksa The Fed menaikkan suku bunga dengan margin yang dapat mengguncang pasar.
Meski sempat menguat lebih dari 15% dari level terendah baru-baru ini, bukan berarti S&P 500 serta merta akan keluar dari tren bearish dalam waktu dekat. Sudah menjadi rutinitas bagi pasar saham untuk mengalami reli, sebelum kehilangan momentum, ketika berada dalam kondisi pasar bearish.
Investor Wall Street sering menyebutnya sebagai "reli pasar bearish", dan beberapa investor dengan pengalaman puluhan tahun telah memperingatkan investor lainnya untuk mengharapkan kondisi tersebut terjadi jauh sebelum reli kenaikan baru-baru ini.
Tidak ada yang tahu pasti kapan indeks akan mencapai titik terendah. Secara rata-rata dalam 10 bear market terakhir, S&P 500 tergelincir 34% sebelum mampu naik kembali. Mengoleksi saham di posisi terendah tentu akan memberikan pengembalian maksimum bagi para investor.
Bursa Indonesia tangguh, kok bisa?
Pasar saham dalam negeri menjadi salah satu dari sedikit bursa saham global yang memberikan pengembalian positif. Tahun ini, IHSG telah memberikan pengembalian positif 9,32% dan menjadi yang terbaik di kawasan Asia Pasifik dan urutan ketujuh di dunia.
Kenaikan ini salah satunya ditopang oleh reli harga komoditas yang menerbangkan saham di sejumlah sektor termasuk konsumer dan energi.
Saham konsumer nyaris secara eksklusif ditopang oleh emiten kelapa sawit, dengan sektor energi mengalami kenaikan di seluruh sub sektor.
Indonesia yang merupakan eksportir batu bara terbesar, memperoleh keuntungan dari harga yang lebih tinggi yang mampu meningkatkan kinerja keuangan perusahaan dan mengerek harga sahamnya.
Selain itu investor asing yang masih mencari lahan hijau untuk menempatkan investasinya masih relatif setia di pasar Indonesia karena telah menjadi satu dari beberapa kawasan yang mampu memberikan pengembalian positif.
Dana asing mengucur deras di awal tahun, meski sempat sedikit tersendat pasca kenaikan suku bunga yang dilakukan beberapa kali oleh sejumlah bank sentral utama dunia. Akan tetapi hingga saat ini total net buy asing sejak awal tahun nilainya masih relatif jumbo.
Terakhir adalah kondisi makro yang relatif lebih stabil. Inflasi di Indonesia memang tinggi, namun masih di bawah angka yang dicatatkan mayoritas negara ekonomi besar lainnya.
Ekonomi Indonesia secara keseluruhan juga masih mengalami ekspansi yang cukup signifikan. Selanjutnya meski melemah, nilai tukar rupiah tetap terjaga dan bukan mata uang dengan performa terburuk. Terakhir, BI telah menjaga suku bunga acuan di level terendah, sebelum akhirnya menaikkan 25 bps baru-baru ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(fsd/vap)