Amankan Isi Dompet! Dalam 12 Bulan Bisa Terjadi Resesi Dunia

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
Kamis, 18/08/2022 12:55 WIB
Foto: Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Isu resesi dunia masih terus membayangi, bahkan semakin banyak yang memprediksi akan benar-benar terjadi. Maklum saja, inflasi masih belum terkendali, dan bank sentral di berbagai negara sangat agresif dalam menaikkan suku bunga.

Mayoritas investor yang disurvei Bank of America meyakini dunia akan mengalami resesi dalam 12 bulan ke depan. Survei terbaru yang dirilis pekan ini menunjukkan sebanyak 58% investor yakin dunia akan mengalami resesi, naik dari survei bulan sebelumnya 47%.

Pergerakan harga minyak mentah bisa menjadi indikasi kekhawatiran akan resesi dunia. Baik minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) dan Brent kini sudah di bawah US$ 100/barel, bahkan cukup jauh.


Pada perdagangan Kamis (18/8/2022), pukul 10:32 WIB, minyak WTI diperdagangkan di kisaran US$ 88/barel sementara Brent di US$ 93/barel. Keduanya sudah turun lebih dari 30% dari level tertinggi awal Maret lalu di kisaran US$ 130/barel untuk WTI dan US$ 140/barel untuk Brent.

Ketika resesi terjadi, aktivitas perekonomian tentunya akan menurun, permintaan minyak mentah juga turun. Alhasil, harga minyak mentah kembali ke bawah US$ 100/barel.

Negara-negara Barat menjadi yang paling terancam mengalami resesi akibat inflasi yang sangat tinggi. Inflasi di Amerika Serikat (AS) mulai melandai, tetapi masih di level tertinggi dalam 40 tahun terakhir.

Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) pada bulan Juli tumbuh 8,5% (year-on-year/yoy), menurun dari bulan sebelumnya 9,1% (yoy).

Inflasi yang menjadi acuan bank sentral AS (The Fed) berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) masih tumbuh 6,8% (yoy) tertinggi sejak Januari 1982. Inflasi inti PCE yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi tumbuh 4,8% (yoy).

Meski sudah melandai, tetapi The Fed masih belum berencana mengendurkan agresivitasnya dalam menaikkan suku bunga.

Dalam notula rapat kebijakan moneter edisi Juli saat menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 2,25% - 2,5%. The Fed menegaskan terus akan menaikkan suku bunga sampai inflasi melandai secara substansial.

Suku bunga The Fed saat ini berada di kisaran 2,25% - 2,5% yang dianggap netral. Artinya tidak memacu pertumbuhan ekonomi, tetapi tidak juga memicu kontraksi. Tetapi, jika lebih tinggi dari level tersebut, maka perekonomian Amerika Serikat berisiko mengalami kontraksi, dan resesi pun semakin nyata.

Jika hanya mengacu pada pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), Amerika Serikat sebenarnya sudah mengalami resesi. Sebab, PDB sudah berkontraksi dua kuartal beruntun. Tetapi dengan pasar tenaga kerja yang masih sangat kuat, banyak yang mengatakan AS tidak mengalami resesi.

Ceritanya akan berbeda jika pasar tenaga kerja AS mulai melemah, perekrutan tenaga kerja mengendur, dan itu bisa terjadi jika suku bunga di atas netral. Sebab, dengan suku bunga tinggi dunia usaha tentunya akan menunda ekspansi.

Tidak hanya The Fed, bank sentral lain juga masih tetap agresif menaikkan suku bunga. Alhasil, resesi dunia terus menghantui.

Indonesia memang jauh dari resesi, dengan inflasi yang masih terkendali. Tetapi, jika dunia sampai masuk ke jurang resesi, dampak buruknya tentu juga akan dirasakan. Ekspor berisiko menurun, belum lagi harga komoditas juga akan menurun akibat perekonomian yang lesu.

Alhasil, windfall atau "durian runtuh" yang didapat Indonesia dari tingginya harga komoditas akan berakhir.

"Perlu diwaspadai terkait adanya windfall komoditas yang menjadi andalan ekspor.Penurunan harga komoditas seperti CPO (menjadi) tanda berakhirnya windfall harga komoditas," tutur Setianto, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS dalam konferensi pers, Senin (15/8/2022).

Setianto menambahkan ekspor tahun ini yang sangat impresif lebih didorong oleh peningkatan harga komoditas ekspor. Secara volume, ekspor Indonesia cenderung stagnan. Kondisi ini membuat ekspor Indonesia rawan anjlok saat harga komoditas kembali normal.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, juga mengungkapkan windfall akan berakhir di tahun depan. Hal ini disampaikan dalam konferensi pers usai rapat kabinet, Senin (8/8/2022).

"Ini tidak akan berulang atau setinggi ini tahun depan," ungkap Sri Mulyani.

Alhasil, Indonesia bisa jadi tidak akan lagi menikmati surplus neraca perdagangan.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Perang Iran Vs Israel Membara, Kemana Dana Investor Kakap Lari?