Tak Peduli Ada Sentimen Positif, Investor Tetap Buru SBN
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup menguat pada perdagangan Kamis (11/8/2022), setelah dirilisnya data inflasi Amerika Serikat (AS) pada periode Juli 2022.
Mayoritas investor ramai memburu SBN pada hari ini, ditandai dengan turunnya imbal hasil (yield) di hampir seluruh tenor SBN. Hanya SBN tenor 25 tahun yang cenderung dilepas oleh investor, ditandai dengan naiknya yield.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN bertenor 25 tahun menguat 1,6 basis poin (bp) ke level 7,586% pada perdagangan hari ini.
Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara lanjut melandai 9,3 bp ke posisi 7,01%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Dari AS, yield obligasi pemerintah (US Treasury) cenderung melandai pada perdagangan pagi hari ini waktu setempat, di mana investor cenderung menyambut baik data inflasi terbaru AS.
Dilansir dari CNBC International, yield Treasury berjangka pendek yakni tenor 2 tahun melandai 3,3 bp ke posisi 3,181% pada hari ini pukul 07:00 waktu setempat, dari sebelumnya pada perdagangan Rabu kemarin di 3,214%.
Sedangkan untuk yield Treasury tenor 10 tahun yang merupakan acuan obligasi negara AS turun 0,8 bp ke 2,773% pada hari ini, dari sebelumnya pada perdagangan kemarin di 2,781%.
Pada Rabu malam waktu Indonesia, data inflasi Negeri Paman Sam dari sisi konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) pada periode Juli 2022 resmi dirilis. Hasilnya pun lebih baik dari ekspektasi pasar.
IHK Negeri Paman Sam pada bulan lalu melandai ke 8,5% secara tahunan (year-on-year/yoy), dari sebelumnya pada Juni lalu sebesar 9,1%. IHK Juli juga di bawah ekspektasi pasar yakni 8,7%.
"Indeks harga konsumen tidak berubah dibandingkan dengan Juni lalu, jauh di bawah ekspektasi, sementara CPI tidak termasuk barang-barang makanan dan energi yang mudah menguap naik hanya 0,3% terkecil dalam empat bulan," ujar Departemen Tenaga Kerja AS.
Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan mempertimbangkan laporan tersebut bersamaan dengan data ekonomi penting lainnya menjelang pertemuan selanjutnya di September.
"Perlambatan pada IHK Juli 2022 tampaknya merupakan bantuan besar bagi The Fed, terutama karena mereka menilai inflasi akan bersifat sementara. Namun, hal tersebut tidak benar...jika kita melihat angka inflasi yang terus menurun, The Fed mungkin akan mulai memperlambat laju pengetatan moneter," tutur Pendiri Quadratic Capital Management Nancy Davis dikutip CNBC International.
Pelaku pasar berharap bahwa The Fed dapat bersikap lebih dovish sedikit setelah inflasi Negeri Paman Sam mulai melandai, meski inflasi saat ini dinilai masih cukup tinggi.
Pasar juga berharap bahwa The Fed dapat menjinakkan inflasi tanpa memasukkan ekonomi ke dalam resesi. Dengan inflasi yang mulai melandai, maka The Fed berpotensi meningkatkan suku bunga pada tingkat yang lebih moderat pada pertemuan berikutnya di September.
Meski begitu, dua pejabat The Fed yakni Presiden The Fed Minneapolis, Neel Kashkari dan Presiden The Fed Chicago, Charles Evans menegaskan bahwa The Fed masih akan tetap menaikkan suku bunganya secara agresif, meskipun inflasi melandai.'
Kashkari menegaskan suku bunga acuan The Fed akan di bawa ke 3,9% pada tahun ini dan 4,4% pada tahun depan, dari level saat ini 2,25-2,5%.
"Tidak ada yang berubah. Kita harus membawa inflasi kembali ke level 2%," tutur Kashkari, seperti dikutip dari Reuters.
Pernyataan Kashkari tersebut dapat mementahkan ekspektasi pasar yang semula berharap The Fed akan menurunkan agresivitas kebijakannya begitu inflasi melandai.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd)