
Ekonomi China Bikin Was-Was, Rupiah Jadi Lemas!

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah pada pekan lalu sukses mencatat penguatan mingguan pertama dalam 8 pekan terakhir melawan dolar Amerika Serikat (AS). Tetapi pada perdagangan pertama Agustus, Senin (1/8/2022) rupiah berbalik melemah.
Saat perdagangan dibuka, rupiah melemah tipis 0,03% ke Rp 14.835/US$. Depresiasi kemudian bertambah hingga 0,2% ke Rp 14.860/US$.
Kabar baik sebenarnya datang dari dalam negeri. S&P Global pagi tadi merilis angka aktivitas manufaktur yang dicerminkan dengan Purchasing Managers' Index (PMI).
Untuk periode Juli 2022, PMI manufaktur Indonesia berada di 51,3. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,2 sekaligus jadi yang tertinggi dalam tiga bulan terakhir.
Pemesanan baru (new orders) meningkat setelah berada di tingkat yang rendah pada Juni. Dunia usaha menyebut peningkatan produksi terjadi seiring tumbuhnya permintaan dari konsumen.
Saat permintaan ekspor masih turun, permintaan domestik mampu mengambil alih. Penurunan ekspor bahkan berada di titik terendah sejak Agustus tahu lalu.
Dengan peningkatan permintaan, dunia usaha pun menambah tenaga kerja. Bahkan penambahan tenaga kerja berada di level tertinggi sepanjang sejarah pencatatan.
"Sektor manufaktur Indonesia mengembalikan momentum pertumbuhannya. Permintaan yang lebih tinggi, terutama dari konsumen domestik, membuat produksi meningkat. Peningkatan produksi mendorong dunia usaha untuk menambah tenaga kerja," papar SianJones, Ekonom Senior S&P Global Market Entelligence, seperti dikutip dari keterangan tertulis.
Berbeda dengan Indonesia, sektor manufaktur China justru mengalami kontraksi.
Minggu (31/7/2022) kemarin, Biro Statistik Nasional (National Bureau of Statistics/NBS) melaporkan sektor manufaktur China mengalami kontraksi di bulan Juli, hal ini tentunya bisa berdampak ke pergerakan pasar finansial pada perdagangan hari ini.
Purchasing managers' index (PMI) manufaktur China pada Juli dilaporkan sebesar 49, turun dari bulan sebelumnya 50,2, sementara survei dari Reuters memprediksi kenaikan menjadi 50,4.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya adalah ekspansi.
Sub-indeks untuk output, pesanan baru serta tenaga kerja semuanya dilaporkan mengalami kontraksi.
"Tingkat kemakmuran ekonomi China telah menurun, fondasi untuk pemulihan masih membutuhkan konsolidasi," kata ahli statistik senior NBS, Zhao Qinghe sebagaimana dilansir CNBC International.
China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia, konsumen komoditas terbesar dan pasar ekspor utama Indonesia. Tingginya harga komoditas menjadi faktor yang membuat fundamental Indonesia saat ini cukup kuat.
Neraca perdagangan mencatat surplus 26 bulan beruntun, yang membuat transaksi berjalan juga surplus. Pasokan devisa menjadi besar yang membuat nilai tukar rupiah menjadi cukup stabil, tidak mengalami pelemahan tajam seperti mata uang di kawasan Asia lainnya.
Selain itu, pemerintah diperkirakan mendapatkan tambahan penerimaan sebesar Rp 420 triliun pada tahun ini karena lonjakan harga komoditas. Kenaikan tersebut digunakan untuk subsidi energi sehingga harga BBM Pertalite dan gas tiga kilogram tidak dinaikkan, yang bisa menjadi inflasi di dalam negeri tidak terlalu tinggi.
Namun, ketika sektor manufaktur China mengalami kontraksi, maka bisa menjadi indikasi permintaan yang menurun. Apalagi jika kontraksinya terjadi dengan berkelanjutan atau selama berbulan-bulan, tentunya permintaan komoditas akan menurun.
"Durian runtuh" yang selama ini dinikmati Indonesia berisiko mengalami penurunan, dan tentunya berdampak ke neraca perdagangan hingga penerimaan negara. Pasar finansial Indonesia bisa merespon negatif lebih awal. Terbukti, rupiah langsung melemah di awal perdagangan hari ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
