
Dibayangi Pelambatan Ekonomi, Dolar Australia Akhirnya Turun

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Australia turun melawan rupiah pada perdagangan Jumat (22/7/2022) setelah menyentuh level tertinggi 5 pekan kemarin. Tanda-tanda pelambatan ekonomi membuat mata uang yang dianggap risk-on ini tertekan.
Melansir data Refinitiv, pada pukul 11:42 WIB dolar Australia melemah 0,5% ke Rp 10.363/AU$ di pasar spot.
Data dari Australia yang dirilis pagi ini menunjukkan aktivitas bisnis yang melambat di bulan Juni. Purchasing managers' index (PMI) sektor manufaktur melambat menjadi 55,7 dari bulan sebelumnya 56,2.
Sementara PMI sektor jasa turun tajam menjadi 50,4 dari sebelumnya 52,6.
PMI menggunakan angka 50 sebagai tolak ukur. Di atasnya berarti ekspansi, sementara di bawahnya kontraksi.
Tidak hanya di Australia, pelambatan aktivitas bisnis juga melanda berbagai negara, yang menunjukkan pelambatan ekonomi sedang terjadi.
Australia sendiri diprediksi akan mengalami resesi akibat inflasi yang tinggi dan bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) yang agresif dalam menaikkan suku bunga.
RBA di bawah pimpinan Philip Lowe dalam pengumuman kebijakan moneter hari ini menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 1,35%.
Dengan demikian, RBA sudah menaikkan suku bunga 3 bulan beruntun, dan berada di titik tertinggi sejak Mei 2019, atau sebelum pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).
Ketika suku bunga naik, maka dunia usaha akan menahan ekspansinya akibat suku bunga kredit yang naik lebih tinggi, begitu juga dengan masyarakat yang menunda konsumsi. Hal ini akan berdampak pada pelambatan ekonomi, hingga resesi.
Diana Mousina, ekonom senior di AMP Australia juga menyebut kenaikan suku bunga akan berdampak pada harga perumahan, belanja konsumen dan investasi perumahan yang bisa menekan tingkat keyakinan konsumen.
Sementara inflasi yang tinggi akan membuat daya beli masyarakat tergerus. Alhasil risiko resesi semakin membesar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
