
Yield Treasury AS Menguat, Eh Yield SBN Ikutan Juga

Jakarta, CNBCIndonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup melemah pada perdagangan Kamis (7/7/2022), di tengah terjadinya inversi imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) yang menandakan bahwa potensi resesi semakin besar.
Mayoritas investor melepas SBN pada hari ini, ditandai dengan naiknya imbal hasil (yield). Hanya SBN tenor 3 dan 15 tahun yang ramai diburu oleh investor, ditandai dengan penurunan yield dan penguatan harga.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 3 tahun melemah 5,9 basis poin (bp) ke posisi 4,203%, sedangkan yield SBN bertenor 15 tahun turun tipis 0,2 bp ke 7,41%.
Sementara itu, yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara cenderung stagnan di posisi 7,277% pada perdagangan hari ini.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Sementara itu dari AS, inversi yield obligasi pemerintah AS (US Treasury) kembali terjadi pada hari ini, menandakan bahwa potensi resesi semakin besar. Adapun Treasury yang mengalami inversi yield yakni Treasury tenor 2 tahun dan Treasury tenor 10 tahun.
Dilansir dari CNBC International, yield Treasury tenor 2 tahun menguat 6,1 bp ke posisi 3,022% pada hari ini, dari sebelumnya pada perdagangan Rabu kemarin di 2,961%.
Sedangkan untuk yield Treasury berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan obligasi acuan pemerintah Negeri Paman Sam bertambah 4,3 bp ke 2,954%, dari sebelumnya pada Rabu kemarin di 2,911%.
Terjadinya inversi sering ditafsirkan sebagai tanda peringatan bahwa resesi ekonomi telah di depan mata. Sebelumnya, inversi juga terjadi pada April lalu, dan menjadi sinyal kuat akan terjadinya resesi di Negeri Paman Sam.
Berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).
Setelah rilis riset tersebut, inversi yield terjadi lagi di AS pada 2019 lalu yang diikuti dengan terjadinya resesi pada 2020, meski juga dipengaruhi oleh pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).
Survei terhadap chief financial officer (CFO) yang dilakukan CNBC International awal Juni lalu menunjukkan sebanyak 68% melihat perekonomian AS diprediksi akan mengalami resesi di semester I-2023.
Sementara itu, bank investasi JP Morgan pada pertengahan Juni lalu mengatakan probabilitas AS mengalami resesi saat ini mencapai 85%, berdasarkan pergerakan harga di pasar saham.
Di lain sisi, menanjaknya kembali yield Treasury terjadi setelah dirilisnya risalah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pada Rabu kemarin waktu AS atau Kamis dini hari tadi waktu Indonesia.
Risalah tersebut menunjukkan bahwa The Fed bertekad untuk meredam inflasi dengan menaikkan kembali suku bunga acuannya sebanyak 50 hingga 75 basis poin (bp) di pertemuan selanjutnya pada 26-27 Juli.
Risalah tersebut juga menunjukkan bahwa pejabat The Fed akan lebih agresif lagi mengetatkan kebijakannya jika inflasi tidak mereda, bahkan jika akan memperlambat ekonomi.
"Para peserta menyadari bahwa pengetatan kebijakan dapat memperlambat laju pertumbuhan ekonomi untuk sementara waktu, tetapi mereka melihat kembalinya inflasi ke 2 persen sebagai hal yang penting untuk mencapai lapangan kerja maksimum secara berkelanjutan," demikian ringkasan pertemuan tersebut dikutip CNBC International.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasar SBN Masih Diburu Investor, Yieldnya Turun Lagi