Bursa Asia Ditutup Cerah Bergairah, KOSPI Melesat Nyaris 2%

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
Kamis, 07/07/2022 16:57 WIB
Foto: Karyawan Bursa Korea (KRX) berpose di depan indeks harga saham akhir selama kesempatan berfoto untuk media di acara penutupan seremonial pasar saham 2018 di Seoul, Korea Selatan, 28 Desember 2018. REUTERS / Kim Hong- Ji

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik ditutup cerah bergairah pada perdagangan Kamis (7/7/2022), di mana investor sedikit bereaksi setelah dirilisnya hasil rapat kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS).

Indeks Nikkei Jepang ditutup melonjak 1,47% ke posisi 26.490,529, Hang Seng Hong Kong menguat 0,26% ke 21.643,58, Shanghai Composite China bertambah 0,27% ke 3.364,4, dan ASX 200 Australia melesat 0,81% ke 6.648.

Selanjutnya indeks Straits Times Singapura ditutup melaju 0,88% ke 3.129,4, KOSPI Korea Selatan melejit 1,84% ke 2.334,27, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir naik tipis 0,09% ke posisi 6.652,587.


Dari Korea Selatan, Saham Samsung Electronics melonjak 3,19%, setelah perseroan merilis proyeksi pendapatan di kuartal kedua 2022. Laba operasional diprediksi naik menjadi 14,1 triliun won (US$ 10,8 miliar) pada kuartal II-2022, naik dari 12,57 triliun won dari periode yang sama tahun lalu.

Sementara itu dari China, pemerintah kota Beijing mengatakan vaksinasi Covid-19 akan menjadi syarat utama untuk memasuki pusat olahraga, tempat hiburan, dan lainnya mulai pekan depan.

Investor masih mengevaluasi risalah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang dirilis pada Rabu kemarin waktu AS atau Kamis dini hari tadi waktu Indonesia.

Risalah tersebut menunjukkan bahwa The Fed bertekad untuk meredam inflasi dengan menaikkan kembali suku bunga acuannya sebanyak 50 hingga 75 basis poin (bp) di pertemuan selanjutnya pada 26-27 Juli.

Risalah tersebut juga menunjukkan bahwa pejabat The Fed akan lebih agresif lagi mengetatkan kebijakannya jika inflasi tidak mereda, bahkan jika akan memperlambat ekonomi.

"Para peserta menyadari bahwa pengetatan kebijakan dapat memperlambat laju pertumbuhan ekonomi untuk sementara waktu, tetapi mereka melihat kembalinya inflasi ke 2 persen sebagai hal yang penting untuk mencapai lapangan kerja maksimum secara berkelanjutan," demikian ringkasan pertemuan tersebut dikutip CNBC International.

Meski investor global terlihat cenderung optimis, tetapi mereka sejatinya masih cenderung khawatir dengan potensi resesi global dan resesi di AS. Hal ini dapat dilihat dari pergerakan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) yang masih mengalami inversi yield.

Inversi tersebut terjadi setelah yield Treasury tenor 2 tahun (3,035%) lebih tinggi ketimbang tenor 10 tahun (2,976%). Dalam kondisi normal, yield tenor lebih panjang akan lebih tinggi, ketika inversi terjadi posisinya terbalik.

Sebelumnya inversi juga terjadi pada April lalu, dan menjadi sinyal kuat akan terjadinya resesi di Negeri Paman Sam.

Berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal). 

Setelah rilis riset tersebut, inversi yield terjadi lagi di AS pada 2019 lalu yang diikuti dengan terjadinya resesi pada 2020, meski juga dipengaruhi oleh pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19). 

Survei terhadap chief financial officer (CFO) yang dilakukan CNBC International awal Juni lalu menunjukkan sebanyak 68% melihat perekonomian AS diprediksi akan mengalami resesi di semester I-2023.

Sementara itu, bank investasi JP Morgan pada pertengahan Juni lalu mengatakan probabilitas AS mengalami resesi saat ini mencapai 85%, berdasarkan pergerakan harga di pasar saham.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/vap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: IHSG Menguat, Pasar Modal RI Masih Jadi Pilihan Investor