Alert! Rupiah Sejengkal Lagi Sentuh Rp 15.000/US$

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
02 July 2022 15:09
Pasar Keuangan RI Terguncang_Cover
Foto: cover topik/Pasar Keuangan RI Terguncang_Cover/Aristy rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah kian mendekati level Rp 15.000/US$ setelah kalah telak dari dolar Amerika Serikat sepanjang pekan ini. Rupiah tak mampu sekali pun menang melawan dolar dari lima hari perdagangan hari ini.

Pada penutupan perdagangan kemarin (1/7/2022) rupiah berada di Rp 14.935/US$, melemah 0,27% di pasar spot. Dalam sepekan rupiah tercatat melemah 0,61%. Selain itu, rupiah juga mencatat pelemahan 4 pekan beruntun dengan total sekitar 3,5%.

Rupiah dibombardir sepanjang pekan. Berita dari dalam dan luar negeri tidak bersahabat bagi mata uang Garuda tersebut.

Dari dalam negeri, rilis data inflasi Indonesia memberikan tekanan bagi rupiah hari ini. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono melaporkan inflasi pada Juni 2022 tercatat 0,61% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Inflasi tahun kalender adalah 3,19%

Secara tahunan (year-on-year/yoy), inflasi Juni 2022 berada di 4,35%. Lebih tinggi dibandingkan Mei 2022 yang 3,55% sekaligus jadi yang tertinggi sejak Juni 2017.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi secara bulanan sebesar 0,44%. Sedangkan inflasi tahunan 'diramal' 4,15%. Kenaikan inflasi tersebut juga lebih tinggi dari konsensus Trading Economics sebesar 4,17%, tetapi jika dilihat inflasi inti justru lebih rendah.

Biasanya ketika inflasi tumbuh akan menjadi kabar baik bagi negara yang sedang berkembang karena bisa menjadi indikasi meningkatnya daya beli masyarakat.

Akan tetapi beda dengan kali ini yang pemicunya buka dari sisi demand atau daya beli, tapi dari sisi supply. Tingginya harga bahan baku akibat tingginya harga komoditas dan kendala pasokan mendorong inflasi melambung.Bukannya untung, malah jadi buntung.

Inflasi Indonesia diperkirakan belum akan mereda pada paruh kedua tahun ini. Pemulihan ekonomi dalam negeri akan mendorong sisi permintaan sehingga tekanan inflasi, terutama inflasi inti akan meningkat.

BPS melaporkan inflasi inti tumbuh 2,63% (yoy) dari sebelumnya 2,58% (yoy), sementara konsensus di Trading Economics memperkirakan sebesar 2,72% (yoy).

Inflasi berisiko semakin meninggi, Bank Indonesia masih belum terburu-buru untuk menaikkan suku bunga.

"Inflasi inti rendah dan ruang BI untuk tidak buru-buru menaikkan suku bunga," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam rapat Banggar, Jumat (1/7/2022).

BI, lanjut Perry tetap fokus dalam menjaga pertumbuhan ekonomi. Dalam hal normalisasi BI telah menempuh kebijakan kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) secara progresif.

"Suku bunga kami pertahankan sampai ada kenaikan-kenaikan inflasi yang fundamental terutama inflasi inti," pungkasnya.

Meski demikian, kenaikan inflasi tetap berisiko tinggi terhadap kestabilan ekonomi Indonesia.

Sebagai catatan, inflasi saat ini masih ditopang oleh harga bahan bakar minyak terutama RON 90 atau Pertalite yang harganya belum disesuaikan. Selisih harga jual dengan harga keekonomiannya masih memiliki selisih hingga Rp 5.000/liter lebih.

Jika nanti ada penyesuaian, inflasi bisa saja makin melambung. Tiap kenaikan harga BBM 10%, laju inflasi akan terdongkrak sekitar 0,4%.

Sementara dari luar negeri, Bank sentral AS (The Fed) yang agresif dalam menaikkan suku bunga guna meredam tingginya inflasi menjadi pemicu rontoknya mata uang Garuda. Hal ini diperburuk dengan perekonomian global yang terancam melambat bahkan beberapa negara terancam mengalami resesi, termasuk Amerika Serikat.

Era suku bunga rendah di AS telah berakhir. The Fed di bawah pimpinan Jerome Powell sudah menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali di tahun ini. 

Terbaru dalam pengumuman kebijakan moneter Kamis (16/6/2022) dini hari waktu Indonesia, The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,5-1,75%.

Tingkat kenaikan suku bunga sebesar 75 basis poin jadi yang terbesar sejak 1994. Tampaknya besaran kenaikan tersebut akan terulang pada bulan ini.

Menurut perangkat FedWatch milik CME group, para pelaku pasar melihat probabilitas sebesar 83,2% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 2,25% - 2,5%.

Perkiraan Kenaikan Suku Bunga The FedFoto: FEDWatch
Perkiraan Kenaikan Suku Bunga The Fed

Berdasarkan Fed Dot Plot yang dirilis setiap akhir kuartal, mayoritas anggota pembuat kebijakan moneter (The Fed) melihat suku bunga di akhir tahun berada di 3,4% atau di rentang 3,25-3,5%.

Inflasi yang tinggi menjadi alasan The Fed sangat agresif dalam menaikkan suku bunga. Beberapa bank sentral utama juga melakukan hal yang sama.

Sebagai catatan, inflasi AS terbang 8,6% pada Mei tahun ini, yang menandai rekor tertinggi sejak Desember 1981.

Kenaikan suku bunga juga dipertegas oleh Jerome Powell yang menyatakan komitmen tidak akan membiarkan ekonomi jatuh ke dalam "era inflasi yang lebih tinggi". Bahkan jika itu berarti menaikkan suku bunga membahayakan pertumbuhan ekonomi.

"Waktunya agak berjalan pada berapa lama Anda akan tetap berada dalam rezim inflasi rendah. Risikonya adalah karena banyaknya guncangan, Anda mulai beralih ke rezim inflasi yang lebih tinggi, dan tugas kami adalah benar-benar mencegahnya. dari terjadi dan kami akan mencegah hal itu terjadi," kata Powell pada konferensi Bank Sentral Eropa.

Rilis data pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal pertama 2022 menunjukkan bahwa negara adidaya tersebut sedang tidak baik-baik saja. Pertumbuhan ekonomi AS pada mencapai -1,6% secara kuartalan quarter-to-quarter (qoq). Ini berarti Negeri Paman Sam makin dekat dengan resesi.

Ketika Amerika Serikat resesi, begitu juga negara lainnya, maka dolar AS akan menjadi primadona karena statusnya sebagai aset safe haven

 

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ras/ras)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular