
Efek Inflasi Global, Bursa Asia Ambruk!

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik kembali ditutup di zona merah pada perdagangan Jumat (1/7/2022). Investor hingga kini masih khawatir dengan prospek perekonomian global kedepannya.
Indeks Nikkei Jepang ditutup ambles 1,73% ke posisi 25,935,619, Shanghai Composite China melemah 0,32% ke 3.387,64, Straits Times Singapura terkoreksi 0,21% ke 3.95,59, ASX 200 Australia terpangkas 0,43% ke 6.539,9, KOSPI Korea Selatan ambrol 1,17% ke 2.305,42, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,7% ke 6.794,328.
Sementara untuk indeks Hang Seng Hong Kong tidak dibuka karena sedang libur nasional memperingati Hari Pembentukan Wilayah Administratif Khusus Hong Kong. Dari Jepang, sentimen pada produsen besar memburuk pada periode April-Juni, menurut survei sentimen bisnis Tankan bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ). Indeks utama untuk sentimen produsen besar berada di angka 9, turun dari pembacaan kuartal I-2022 di angka 14.
"Produsen saat ini menghadapi sejumlah hambatan mulai dari melonjaknya biaya input hingga kondisi pasokan yang masih tidak stabil," kata Stefan Angrick, ekonom senior di Moody's Analytics, dikutip dari CNBC International.
Sementara itu dari China, data aktivitas manufaktur yang tergambarkan pada purchasing manager's index (PMI) China periode Juni 2022 versi Caixin dilaporkan naik menjadi 51,7, dari sebelumnya pada Mei lalu di angka 48,1. Angka ini lebih baik dari ekspektasi analis dalam polling Reuters yang memperkirakan kenaikan 50,1 pada bulan lalu.
Sebelumnya pada Kamis kemarin, data PMI manufaktur China periode Juni 2022 versi NBS dilaporkan naik menjadi 50,2, dari sebelumnya pada bulan lalu di angka 49,6. Naiknya kembali PMI manufaktur China versi NBS dan Caixin ke zona ekspansi terjadi karena pemerintah setempat telah memperlonggar penguncian ketat di Shanghai, mendorong pertumbuhan produksi dan pesanan baru. PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawah 50 artinya kontraksi, sementara di atasnya ekspansi.
Sentimen pasar global masih cenderung suram, di mana perang antara Rusia-Ukraina tidak menunjukkan sinyal akan berakhir pada waktu dekat ini dan tekanan inflasi terus membayangi, membuat bank sentral bertindak agresif untuk mengetatkan kebijakan moneternya dan memperburuk kekhawatiran perlambatan ekonomi global.
Dari Amerika Serikat (AS), indeks belanja konsumsi perorangan (Personal Consumption Expenditures/PCE) naik 4,7% pada Mei atau melambat 0,2 persen poin secara bulanan dan lebih moderat dari ekspektasi pasar dalam polling Dow Jones yang memprediksi angka 4,8%.
Indeks PCE dijadikan tolak ukur bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) untuk mengukur tingkat inflasi. The Fed telah mengambil langkah yang agresif untuk meredam inflasi yang menyentuh level tertinggi sejak 40 tahun.
Kebijakan ini memicu kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) tenor 10 tahun, di mana yield Treasury tenor 10 tahun saat ini berada di kisaran 3%.
Presiden The Fed, Cleveland Loretta Mester mengatakan menyetujui kenaikan 75 basis poin (bp) pada suku bunga acuan di pertemuan Juli jika kondisi ekonomi saat ini bisa bertahan. Pada awal Juni, The Fed menaikkan suku bunga menjadi 3,5% dan menjadi kenaikan terbesar sejak 1994.
Investor cemas terhadap keagresifan The Fed akan membawa ekonomi AS ke jurang resesi. "Kami tidak percaya pasar saham telah menyentuh level terendahnya dan kami melihat penurunan akan berlanjut. Investor sebaiknya memegang uang tunai yang banyak sekarang," kata Ketua Sanders Morris Harris George Ball dikutip CNBC International.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perdagangan Perdana di 2024, Bursa Asia Dibuka Beragam
