Nyaris Rp 14.900/US$, Rupiah Mata Uang Terburuk di Asia!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
30 June 2022 15:13
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah mencatat pelemahan 3 hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (30/6/2022). Rupiah nyaris menyentuh Rp 14.900/US$ dan berada di level terlemah dalam 19 bulan terakhir.

Rupiah membuka perdagangan hari ini dengan melemah tipis saja 0,01%. Sempat menguat 0,2%, rupiah kemudian berbalik melemah hingga 0,31% ke Rp 14.895/US$ yang merupakan level terlemah sejak 29 September 2020. Di penutupan perdagangan, rupiah juga berada di level tersebut. 

Dibandingkan mata uang utama Asia lainnya, rupiah hari ini menjadi yang terburuk di Asia. Beberapa mata uang juga mampu menguat, seperti won Korea Selatan, yen Jepang hingga yuan China. 

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hingga pukul 15:03 WIB.

Dari dalam negeri, pelaku pasar menanti rilis data inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) Jumat besok.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 14 institusi memperkirakan inflasi Indonesia diperkirakan mencapai 0,44% (month to month/mtm) pada Juni tahun ini, meningkat dibandingkan 0,4% pada Mei lalu.Inflasi secara tahunan (year on year/yoy) juga diperkirakan melonjak.

Inflasi secara tahunan diperkirakan menembus 4,15%. Level tersebut akan menjadi yang tertinggi sejak Juni 2017 atau dalam lima tahun terakhir di mana pada saat itu inflasi tercatat 4,37%.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan inflasi di bulan Juni merangkak naik karena meningkatnya inflasi komponen inti dan kelompok barang bergejolak.

"Kenaikan inflasi inti disebabkan oleh peningkatan konsumsi domestik, diikuti dengan kenaikan harga emas global. Di sisi lain, beberapa harga pangan masih mencatatkan kenaikan sepanjang bulan Juni," tutur Josua, kepada CNBC Indonesia.

Rilis data inflasi inti juga akan mempengaruhi outlook suku bunga Bank Indonesia.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Dolar AS Jadi Primadona

Ketua bank sentral AS (The Fed) Jerome Powell yang berbicara Rabu kemarin mengatakan ancaman terbesar bagi perekonomian AS adalah inflasi yang persisten.
Dalam European Central Bank Forum, Powell menyatakan tidak bisa menjamin perekonomian AS terhindar dari resesi akibat kenaikan suku bunga agresif.

Pernyataan tersebut menegaskan The Fed akan terus menaikkan suku bunga untuk menurunkan inflasi, meski perekonomian AS berisiko mengalami resesi. Kenaikan suku bunga dan resesi membuat dolar AS menjadi primadona.

Tanda-tanda pelaku pasar beralih ke dolar AS terlihat dari posisi beli bersih (net long) yang naik tajam. Data dari Commodity Futures Trading Commission (CFTC) menunjukkan posisi spekulatif net long dolar AS melonjak US$ 1,52 miliar atau sekitar Rp 22,5 triliun (kurs Rp 14.800/US$) dalam sepekan yang berakhir 21 Juni.

Kenaikan tersebut artinya para spekulan semakin banyak memborong dolar AS, ketimbang mata uang utama lainnya, yen, euro, poundsterling, franc dolar Kanada dan dolar Australia.

Kenaikan net long tersebut bisa menjadi indikasi dolar AS akan terus menguat. Dalam dua hari terakhir indeks dolar AS kembali melaju kencang, total kenaikannya lebih dari 1%. Hal ini tentunya menyulitkan rupiah untuk bisa menguat.

"Bagi saya Powell terdengar hawkish. Dia berbicara keinginannya bertindak preemptive atau tidak ingin melihat kenaikan ekspektasi inflasi," kata Eric Nelson, analis mata uang di Wells Fargo, sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (29/6/2022).

Ekspektasi inflasi di Amerika Serikat juga terus menanjak. Data yang dirilis Conference Board Selasa lalu menunjukkan ekspektasi inflasi dalam 12 bulan ke depan mencapai 8%, tertinggi sejak data mulai dikumpulkan pada Agustus 1987.

Selain itu, konsumen juga menjadi pesimistis menghadapi perekonomian, terlihat dari indeks keyakinan konsumen (IKK) Juni yang merosot menjadi 98,7, dari bulan sebelumnya 103,3. Penurunan tersebut membawa tingkat keyakinan konsumen ke titik terendah dalam 16 bulan terakhir.

Angka di bawah 100 menandakan pesimistis, sementara di atasnya optimistis. Ketika konsumen pesimistis, maka belanja rumah tangga berisiko menurun yang berdampak pada pelambatan ekonomi.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular