Saat Yield Treasury Meninggi, Yield SBN Justru Melandai
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup menguat pada perdagangan Selasa (28/6/2022), di tengah cenderung meningginya kembali imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) pada hari ini.
Mayoritas investor memburu SBN pada hari ini, ditandai dengan turunnya yield. Hanya SBN tenor 15 dan 25 tahun yang cenderung dilepas oleh investor, ditandai dengan kenaikan yield dan melemahnya harga.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 15 tahun dan 25 tahun naik 0,6 basis poin (bp) ke posisi masing-masing 7,518% dan 7,578%. Sementara, untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara kembali menurun 2,4 bp ke 7,292%
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Dari Amerika Serikat (AS), yield obligasi pemerintah AS (US Treasury) cenderung kembali menguat pada pagi hari ini waktu AS, karena investor menanti rilis data ekonomi terbaru untuk petunjuk lebih lanjut tentang kesehatan ekonomi.
Dilansir dari CNBC International, yield Treasury tenor 10 tahun menguat 5,7 bp ke level 3,251% pada pagi hari ini waktu AS, dari sebelumnya pada perdagangan Senin kemarin di 3,194%.
Pelaku pasar di AS masih cenderung khawatir tentang prospek resesi dalam beberapa pekan terakhir karena bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mencoba untuk mendinginkan inflasi yang melonjak dengan kenaikan suku bunga secara agresif.
Di bulan ini, The Fed sudah menaikkan suku bunga sebesar 75 bp menjadi 1,5% - 1,75%, dan bulan depan akan dinaikkan lagi 50 -75 bp. Di akhir tahun ini, suku bunga diproyeksikan berada di 3,25% - 3,5%.
Di lain sisi, data indeks keyakinan konsumen (IKK) CB AS pada periode Juni 2022 akan dirilis pada hari ini.
Sementara itu menurut survei dari University of Michigan yang dirilis pada Jumat pekan lalu, data indeks keyakinan konsumen terbaru menunjukkan penurunan yang drastis, yakni merosot menjadi 50 di Juni, turun drastis dari bulan sebelumnya 58,4 dan merupakan rekor terendah sepanjang sejarah.
Ketika tingkat keyakinan konsumen menurun maka konsumsi kemungkinan akan melambat yang bisa menurunkan inflasi.
Sejalan dengan penurunan tingkat keyakinan konsumen tersebut, ekspektasi inflasi juga turun menjadi 5,3% dari sebelumnya 5,4%.
Hal ini membuat pasar mulai melihat ada peluang The Fed tidak akan terlalu agresif, yang mempengaruhi pergerakan dolar AS. Indeks dolar AS pada pekan lalu merosot 0,5%, dan berlanjut 0,24% Senin kemarin. Sementara sore ini naik tipis 0,05%.
Di sisi lain, perekonomian AS terlihat masih kuat, terlihat dari peningkatan pesanan barang tahan lama. Data yang dirilis kemarin menunjukkan pesanan untuk mobil baru atau mesin pabrik tumbuh 0,7% dari bulan sebelumnya. Pertumbuhan tersebut jauh lebih tinggi dari prediksi pasar 0,1% saja.
Pesanan barang tahan lama inti, yang tidak memasukkan sektor transportasi seperti mobil dan pesawat juga tumbuh 0,7%, lebih tinggi dari prediksi pasar 0,4%.
Peningkatan pesanan barang tahan lama menjadi indikasi dunia usaha masih melakukan ekspansi bisnis. Artinya, perekonomian Negeri Paman Sam masih kuat meski The Fed sudah 3 kali menaikkan suku bunga, bahkan kenaikannya cukup agresif.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd)