Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara kembali menggila dalam dua pekan terakhir. Harganya terus menanjak akibat peningkatan permintaan hingga sempat menyentuh US$ 400/ton. Yang menarik, harga minyak mentah justru merosot dalam dua pekan beruntun, padahal keduanya merupakan komoditas energi.
Harga batu bara yang tinggi, plus minyak mentah yang merosot tentunya memberikan keuntungan bagi Indonesia. Pendapatan dari ekspor batu bara meningkat, sebaliknya beban impor minyak mentah berkurang.
Sepanjang pekan lalu harga batu bara kontrak 2 bulan di Ice Newcastle Australia melesat nyaris 8% ke US$ 387/ton. Sementara dalam dua pekan terakhir total kenaikannya sebesar 12,2%.
Faktor penggerak harga batu bara masih ditopang oleh rencana negara Eropa seperti Jerman, Inggris, Austria, dan Belanda kembali menggunakan pembangkit listrik batu bara. Mereka kembali beralih ke batu bara karena Rusia memangkas pasokan gasnya.
"Karena ada lonjakan permintaan maka harga batu bara naik. Eropa kemungkinan akan meningkatkan impor batu bara dari beberapa negara seperti Afrika Selatan dan wilayah pasifik," tutur seorang trader dari Swiss.
Dengan diaktifkannya kembali Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, selain bisa mengurangi kelangkaan energi, tekanan inflasi tentunya juga bisa berkurang. Seperi diketahui, tingginya harga energi di Eropa merupakan pemicu utama terjadinya 'tsunami' inflasi.
Tingginya inflasi membuat Eropa hingga Amerika Serikat terancam mengalami resesi. Hal ini justru membuat harga minyak mentah merosot.
Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) di pekan lalu tercatat turun 1,8% ke US$ 107,62/barel, setelah sebelumnya sempat jeblok nyaris ke bawah US$ 100/barel.
Dalam dua pekan, total minyak WTI jeblok lebih dari 10%. Sementara itu minyak jenis Brent merosot 7,3%.
Penurunan harga minyak WTI yang lebih tajam ketimbang Brent sebab risiko resesi Amerika Serikat (AS) sangat besar akibat agresivitas bank sentralnya (Federal Reserve/The Fed) dalam menaikkan suku bunga.
Ketika Amerika Serikat (AS) mengalami resesi, maka permintaan minyak WTI akan menurun. Bank investasi JP Morgan mengatakan probabilitas Amerika Serikat mengalami resesi saat ini mencapai 85%, berdasarkan pergerakan harga di pasar saham.
Indeks S&P 500 sepanjang tahun ini sudah jeblok sekitar 23%. Menurut JP Morgan, dalam 11 resesi terakhir, rata-rata indeks S&P 500 mengalami kemerosotan sebesar 26%.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> RI Untung Besar?
Jika harga minyak mentah terus menurun, maka beban impor tentunya akan menurun. Seperti diketahui, tingginya harga minyak mentah membuat pemerintah harus menambah subsidi energi agar tidak menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite.
Hal tersebut dilakukan agar inflasi tidak meroket di dalam negeri, sehingga daya beli masyarakat bisa terjaga.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati harus merogoh kocek lebih dalam pada tahun ini demi menahan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite, Elpiji tabung 3 kg, hingga tarif listrik.
Tak tanggung-tanggung, dana yang dibutuhkan adalah Rp 520 triliun. Termasuk di dalamnya pembayaran kompensasi kepada PT Pertamina persero dan PT PLN persero yang telah menahan kenaikan harga dalam dua tahun terakhir.
"Untuk tahun ini, kami meminta persetujuan DPR untuk tambah anggaran subsidi dan kompensasi nilainya diperkirakan Rp 520 triliun," ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat Rapat Paripurna DPR beberapa waktu lalu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Januari-Mei, impor migas Indonesia melonjak lebih dari 30% menjadi US$ 95,18 miliar. Harga tertinggi minyak mentah di tahun ini tercatat pada bulan Maret lalu. Minyak WTI sempat menyentuh US$ 130/barel, sementara Brent nyaris mencapai US$ 140/barel
Dengan penurunan harga minyak mentah, tentunya beban subsidi pemerintah juga bisa berkurang. Di sisi lain, tingginya harga batu bara akan menguntungkan bagi Indonesia. Batu bara merupakan komoditas ekspor terbesar Indonesia.
Sementara itu, sepanjang Januari-Mei, nilai ekspor batu bara yang termasuk dalam bahan bakar mineral (HS 27) sebesar US$ 18,99 miliar, meroket 85% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Nilai tersebut berkontribusi sekitar 17,5% dari total ekspor Indonesia, menjadi yang terbesar dibandingkan komoditas lainnya. Dengan permintaan yang berpotensi meningkat, apalagi ada potensi dari Eropa, tentunya nilai ekspor bisa bertambah.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, terdapat empat negara di Eropa telah melirik untuk membeli batu bara asal Indonesia. Adapun keempat negara tersebut diantaranya yakni Jerman, Spanyol, Italia, dan Belanda.
Staf Khusus Menteri ESDM, Irwandy Arif mengatakan setidaknya empat negara tersebut baru sebatas penjajakan awal. Sehingga belum diketahui secara pasti berapa volume produksi yang akan digenjot Indonesia untuk memenuhi batu bara yang diminta oleh negara-negara tersebut.
Meski demikian, Irwandy mengatakan bahwa terdapat sejumlah tantangan dalam upaya meningkatkan produksi batu bara nasional. Mulai dari ketersediaan alat berat hingga cuaca di lokasi tambang.
Oleh sebab itu, guna memenuhi kebutuhan batu bara Eropa, maka produsen batu bara perlu upaya ekstra. Apalagi jika melihat produksi sampai Mei saja baru mencapai 41% dari target produksi nasional.
"Produksinya saja baru 41% dari target sampai dengan Mei," kata Irwandy saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (24/6/2022).
Di samping itu, menurutnya jika Indonesia ingin menjual batu bara ke Eropa, paling tidak kualitasnya harus memenuhi kebutuhan mereka. Pasalnya, Eropa pada umumnya menggunakan batu bara kualitas di atas 5.500 kalori/kg.
Senada, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli sebelumnya menilai bahwa upaya peningkatan produksi untuk memenuhi kebutuhan ekspor cukup menantang. Setidaknya ketersediaan alat berat dan alat angkut menjadi tantangan tersendiri.
"Pertama adalah bahwa saat ini juga terjadi kelangkaan suplai alat berat yang dibutuhkan untuk peningkatan produksi itu agak sulit," kata dia kepada CNBC Indonesia, Rabu (22/6/2022).
TIM RISET CNBC INDONESIA