Meski Keok Lawan Dolar AS, Kinerja Rupiah Mulai Membaik
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan pekan ini. Meski demikian, kinerja di pekan ini sudah jauh membaik ketimbang pekan lalu. Dalam 5 hari perdagangan rupiah mampu menguat sebanyak 2 kali, sementara pekan lalu tak pernah mencatat penguatan.
Sepanjang pekan ini pelemahan rupiah tercatat hanya 0,16%, jauh lebih baik ketimbang minggu lalu yang merosot tajam 1,86%.
Pada perdagangan hari Jumat (24/6/2022), rupiah yang sempat menguat secara singkat mengakhiri perdagangan di Rp 14.835/US$, melemah 0,07% dari hari sebelumnya di pasar spot.
Kebijakan Bank Indonesia (BI) dan bank sentral AS (The Fed) menjadi penggerak utama rupiah di pekan ini. BI mempertahankan suku bunga acuannya 3,5% pada pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Kamis kemarin. Meski demikian, rupiah masih mampu mempertahankan penguatan 0,2% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.845/US$.
Keputusan tersebut diambil karena inflasi di dalam negeri yang masih terkendali, dan nilai tukar rupiah yang pelemahannya tidak terlalu besar.
Meski demikian, BI memberikan sinyal suku bunga akan dinaikkan ketika inflasi inti mulai menanjak.
Hingga Mei, inflasi inti masih di 2,58%, di bawah titik tengah sasaran inflasi BI yang 2-4%.
"BI masih melihat, terus mengamati pengaruh dampak ke inflasi pangan,administered prices,dan lakukan langkah-langkah menjaga confidence masyarakat. BI siap untuk menyesuaikan kebijakan suku bunga apabila ada tanda-tanda kenaikan inflasi inti," ungkap Deputi Gubernur BI, Dody Budi Waluyo.
Di sisi lain, The Fed menegaskan komitmennya untuk menurunkan inflasi di Amerika Serikat (AS) dengan menaikkan suku bunga lebih agresif.
Seperti diketahui The Fed pada pekan lalu menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%. Ketua The Fed, Jerome Powell mengatakan akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 50 - 75 basis poin bulan depan, dan di akhir tahun diperkirakan berada di kisaran 3,25% - 3,5%.
Powell memberikan testimoninya di hadapan Kongres AS pada Rabu dan Kamis kemarin. Sejauh ini, Powell masih optimistis dengan kondisi perekonomian AS, pasar tenaga kerja ketat dan demand masih tinggi. Meski demikian, ia juga menyatakan resesi mungkin akan terjadi.
"[Resesi] mungkin terjadi. Itu bukan hasil yang kami inginkan, tetapi kemungkinan itu pasti, dan terus terang peristiwa yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir di seluruh dunia membuat kami lebih sulit mencapai apa yang kami inginkan, yakni inflasi 2% dengan pasar tenaga kerja yang tetap kuat," kata Powell sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (22/6/2022)
TIM RISET CNBC INDONESIA