BI Tak Seperti AS dkk Gaspol Kerek Suku Bunga, Apa Risikonya?
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) kembali dengan kebijakan yang sama pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada hari ini. Adalah menahan suku bunga acuan atau BI 7 days reverse repo rate (BI7DRRR) di level 3,5%, berbeda dari arah kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) dan kawan-kawan.
AS adalah negara yang paling kencang dalam memperketat moneternya, mengingat inflasi yang amat tinggi. Selanjutnya bank sentral Inggris (Bank of England/BoE), dan bank sentral Swis serta Kuwait dan Brasil. Bank sentral Eropa (ECB) juga mengatakan akan menaikkan suku bunga mulai Juli.
Sementara yang belum menaikkan suku bunga acuan seperti Indonesia adalah Jepang, China, Thailand, hingga Rusia.
Tapi apa risikonya apabila Indonesia tidak mengikuti AS dkk?
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam konferensi pers usai RDG, Kamis (23/6/2022), menjelaskan kebijakan suku bunga acuan akan berkaitan dengan investasi portfolio pada masing-masing negara.
"Fed Fund Rate naik berimbas ke kenaikan yield tapi tidak juga satu persatu. Kalau FFR naik 75 bp bukan berarti UST naik 75 bp. Pada akhirnya yang akan menentukan investor adalah yield UST dibandingkan yield SBN. Itu yang akan menentukan investor membeli SBN atau tidak," paparnya.
Jadi meskipun tidak ada kenaikan suku bunga acuan di Indonesia, namun yield SBN dibandingkan US Treasury cukup kompetitif, maka bisa mengundang aliran dana masuk (inflow). Meskipun Perry menyadari dalam beberapa waktu terakhir ada kecenderungan outflow.
"Memang betul aliran asing untuk SBN tidak kuat dan bukan berarti akan mengganggu nilai tukar rupiah," ujarnya.
Nilai tukar Rupiah sampai dengan 22 Juni 2022 terdepresiasi sekitar 4,14% (ytd) dibandingkan dengan level akhir 2021, relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti India 5,17%, Malaysia 5,44%, dan Thailand 5,84%.
Ketahanan rupiah didorong oleh pasokan valuta asing yang cukup, imbas surplus neraca perdagangan yang besar. Hingga saat ini tercatat surplus terjadi selama 25 kali beruntun.
"Pasokan valas tinggi dan menjaga stabilitas rupiah," kata Perry
"Itu kenapa meskipun BI tidak menaikan suku bunga, tidak akan mengganggu ketahanan eksternal kita, karena CAD rendah dan FDI inflow rendah, PMA tinggi, cadev lebihi cukup dan BI akan jaga stabilitas rupiah," pungkasnya.
(mij/mij)