Menguat, Rupiah Bisa ke Bawah Rp 14.800/US$?
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) di awal perdagangan Selasa (21/6/2022). Laju kenaikan indeks dolar AS yang mulai tertahan membuat rupiah mampu menguat pagi ini.
Begitu perdagangan pasar spot dibuka, rupiah langsung menguat 0,13% ke Rp 14.810/US$, melansir data Refinitiv. Penguatan tersebut kemudian terpangkas menjadi 0,07% saja di Rp 14.820/US$ pada pukul 9:03 WIB.
Tanda-tanda rupiah akan menguat pagi ini sudah terlihat dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang posisinya lebih bagus ketimbang beberapa saat setelah penutupan perdagangan Senin. Meski demikian, di kurs NDF 1 pekan rupiah masih berada di atas Rp 14.800/US$, sehingga agak sulit bagi rupiah di pasar spot untuk bisa menembus ke bawahnya.
Periode | Kurs Senin (20/6) pukul 15:23 WIB | Kurs Selasa (21/6) pukul 8:52 WIB |
1 Pekan | Rp14.819,5 | Rp14.807,5 |
1 Bulan | Rp14.839,8 | Rp14.802,5 |
2 Bulan | Rp14.853,0 | Rp14.824,0 |
3 Bulan | Rp14.870,0 | Rp14.841,0 |
6 Bulan | Rp14.915,2 | Rp14.887,0 |
9 Bulan | Rp14.990,2 | Rp14.960,0 |
1 Tahun | Rp15.067,3 | Rp15.050,5 |
2 Tahun | Rp15.475,0 | Rp15.397,0 |
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Indeks dolar AS pada perdagangan Senin berakhir stagnan, sementara pagi turun hingga 0,4%. Pelaku pasar kini menanti testimoni ketua bank sentral AS (The Fed) Jerome Powell di hadapan Kongres AS pada Rabu dan Kamis waktu setempat.
Testimoni yang dilakukan 2 kali setahun ini terjadi setelah pada pekan lalu The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%, dan menjadi kenaikan yang terbesar sejak 1994.
Tidak hanya itu, The Fed juga memproyeksikan suku bunga di akhir tahun ini berada di 3,25% - 3,5%.
Powell kemungkinan besar akan menghadapi pertanyaan kenaikan suku bunga yang agresif di tengah tanda-tanda perekonomian yang mulai melambat oleh anggota parlemen AS. Kemudian seberapa besar ancaman resesi yang dihadapi Amerika Serikat.
Beberapa analis memulai mempertanyatakan pernyataan-pernyataan Powell yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan, serta kerap tidak konsisten.
Dari sektor perumahan pada Mei terjadi penurunan pembangunan rumah hingga 14,4%, padahal saat ini di Amerika Serikat sedang terjadi kelangkaan rumah bahkan dikatakan pada level kronis. Kemudian sektor manufaktur di wilayah Philadelphia kembali mengalami kontraksi, pengajuan klaim tunjangan pengangguran mingguan juga lebih tinggi dari perkiraan.
Ketua The Fed dua periode ini sebelumnya mengatakan tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengendalikan inflasi energi dan harga makanan, tetapi menyarankan akan terus menaikkan suku bunga hingga harga gas turun.
Kemudian ekspektasi inflasi yang sebelumnya masih cukup bagus. Tetapi kenaikan suku bunga sebesar 75 basis poin dikatakan sebagai akibat naiknya ekspektasi inflasi.
"Pernyataan Powell membingungkan, kurang percaya diri, dan menaikkan risiko makroekonomi dan stabilitas finansial," tulis Bespoke Investment Group dalam sebuah catatan ke nasabahnya yang dikutip CNBC International.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)