Spekulan Borong Dolar AS, Rupiah Jadi Susah Menguat!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
Senin, 20/06/2022 15:09 WIB
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (20/6/2022). Rupiah bergerak cukup volatil menjelang penutupan perdagangan, ada kemungkinan Bank Indonesia (BI) melakukan intervensi.

Melansir data Refinitiv, rupiah di awal perdagangan hari ini sempat menguat 0,14% ke Rp 14.800/US$, tetapi setelahnya berbalik melemah hingga 0,15% ke Rp 14.843/US$. Namun, sekitar 1 jam sebelum perdagangan berakhir rupiah sempat menguat lagi hingga 0,61% ke Rp 14.730/US$.

Sayangnya, penguatan tersebut hanya berlangsung sekejap saja, rupiah kemudian kembali melemah dan berakhir di Rp 14.830/US$, atau melemah 0,06% saja.
Kenaikan suku bunga bank sentral AS (The Fed) yang memicu lonjakan permintaan dolar AS membuat rupiah sulit menguat.


Pada Kamis pekan lalu, The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%. Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar sejak tahun 1994.
Kenaikan suku bunga yang agresif hampir pasti akan terjadi sebab inflasi di AS terus menanjak.

"Kami menyerang inflasi dan akan melakukan semua yang bisa kami lakukan untuk membawanya kembali ke level normal, untuk kami itu di angka 2%. Kami akan melakukan apa pun yang diperlukan untuk mewujudkannya," kata Presiden The Fed wilayah Atlanta, Raphael Bostic, sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (17/6/2022).
Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di AS saat ini mencapai 8,6% year-on-year (yoy), tertinggi dalam 41 tahun terakhir.

Berdasarkan Fed Dot Plot yang dirilis setiap akhir kuartal, mayoritas anggota komite pembuat kebijakan moneter (FOMC) The Fed melihat suku bunga di akhir tahun berada di 3,4% atau di rentang 3,25% - 3,5%.

Artinya, di akhir tahun suku bunga tersebut akan lebih tinggi dari level yang dianggap netral 2,5% - 2,75%. Suku bunga netral artinya tidak memacu perekonomian, tidak juga memicu pelambatan ekonomi.

Semakin jauh suku bunga di atas netral, risiko pelambatan ekonomi hingga resesi menjadi semakin meningkat.

Selain resesi, pasar juga cemas The Fed salah mengambil kebijakan.

"Apa yang dikhawatirkan pasar, bahkan sebelum terjadi resesi adalah kebijakan yang salah, bahwa The Fed merusak sesuatu. Pasar mempertanyakan pernyataan perekonomian yang dikatakan kuat," kata Quincy Krosby, kepala ahli strategi ekuitas di LPL Financial, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (16/5/2022).

Akibat ketidakpastian yang membayangi semakin besar, pasar beralih ke aset-aset aman (safe haven) dalam hal ini dolar AS. Pasa spekulan pun memborong dolar AS.

Hal ini terlihat dari meroketnya posisi beli spekulatif dolar AS dalam sepekan. Berdasarkan perhitungan Reuters dan Commodity Futures Trading Commission (CFTC), pada pekan yang berakhir 14 Juni posisi beli bersih (net long) dolar AS melonjak menjadi US$ 14,17 milliar, dari pekan sebelumnya US$ 13,07 miliar. Atau, dengan kurs Rp 14.830/US$, lonjakan posisi net long tersebut mencapai Rp 16,2 triliun.

Sementara itu dari dalam negeri, pelaku pasar menanti pengumuman kebijakan moneter Bank Indonesia Kamis nanti.

Rupiah meski tertekan sepanjang pekan lalu, tetapi BI masih enggan untuk menaikkan suku bunga.

"BI tentu saja tidak harus terpaksa menaikkan suku bunga," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam seminar INDEF bertajuk Managing Inflation to Boost Economic Growth, Rabu (15/6/2022).

Menurut Perry langkah normalisasi yang dijalankan BI adalah kenaikan giro wajib minimum (GWM) perbankan.

"Kami tetap akan dan sudah melakukan normalisasi. dengan menaikkan GWM. bahkan dengan RDG kami percepat normalisasi likuiditas tadi tanpa mengganggu perbankan menyalurkan kredit," jelasnya.

BI akan tetap terus memantau perkembangan ke depan, khususnya dari sisi global, baik perang Rusia dan Ukraina hingga arah kebijakan moneter negara di dunia.

"Semoga tidak ada kejutan di global dan domestik sehingga pemulihan terus berlanjut. Stabilitas sistem keuangan terjaga rupiah terjaga dan semua menuju Indonesia maju," pungkasnya.

Namun, kurang dari 24 jam setelah pernyataan tersebut, bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%. Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar sejak tahun 1994.

Meski tidak terlalu mengejutkan, karena sudah diperkirakan oleh pelaku pasar, agresivitas tersebut tentunya lebih tinggi dari proyeksi BI yang melihat suku bunga The Fed masih di bawah 3% di akhir tahun ini.

Bagaimana respon BI terhadap kenaikan tersebut nantinya akan menjadi penggerak rupiah.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Perang Bikin Rupiah Anjlok, Tembus Rp 16.400-an per Dolar AS