
Sepekan, Bursa Saham Global Anjlok, IHSG Ambles 2,11%

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak melemah pekan ini. Terkoreksinya bursa saham Indonesia searah dengan pelemahan pasar saham global.
Pada Perdagangan Jumat (17/6), IHSG menutup perdagangan dengan terkoreksi tajam sebanyak 1,61% ke posisi 6.936,967 dan menjadi posisi terendah sejak 25 Mei 2022.
Menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), selama perdagangan periode 13-17 Juni 2022 atau sepanjang pekan ini, IHSG bergerak melemah 2,11% secarapoint-to-point.
Dari rata-rata volume transaksi hariannya, pekan ini lebih semarak dibandingkan pekan lalu. Sepanjang pekan ini, volume transaksi sekitar Rp 140,512 miliar saham, jika dibandingkan dengan pekan lalu hanya sebanyak Rp 138,609 miliar saham.
Sementara itu, nilai transaksi selama sepekan ini mencapai Rp 86,182 triliun, lebih banyak dari Rp 85,928 triliun pada pekan yang lalu.
Namun, jumlah frekuensi selama pekan ini menurun ketimbang pekan lalu, di mana pekan ini jumlah frekuensi hanya 6.908.024 transaksi dari sebelumnya sebesar 7.742.515 transaksi.
Di level Asia, IHSG rupanya tidak sendirian, mayoritas bursa saham juga terkoreksi.
Secara mingguan, Sensex (India) ambles 5,42%, Straits Times (Singapura) anjlok 2,63%, dan PSEI (Filipina) jatuh 3,04%.
Bursa saham Eropa pun setali tiga uang. Dalam sepekan, FTSE 100 (Inggris) ambrol 4,12%, DAX (Jerman) rontok 4,62%, dan CAC (Prancis) minus 4,92%.
Situasi serupa terjadi di bursa saham Amerika Serikat (AS). Dalam seminggu, Dow Jones Industrial Average terkoreksi 4,8%, S&P 500 ambruk 5,8%, dan Nasdaq 100 turun 4,8%.
Runtuhnya bursa saham global dipicu oleh keagresifan bank sentral Amerika Serikat (AS) (Federal Reserve/The Fed) yang akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin di bulan ini. Kenaikan tersebut memang sudah diperkirakan oleh pasar dan disambut positif.
Namun, data ekonomi AS yang dirilis pekan ini menunjukkan adanya perlambatan pada ekonomi, sehingga meningkatkan potensi resesi.
Padahal, sebelumnya Ketua The Fed Jerome 'Jay' Powell mengatakan tidak ada tanda-tanda pelemahan ekonomi dan The Fed dapat mengambil jalur hawkish untuk meredam inflasi.
Tanda-tanda tersebut mulai dari inflasi AS per Mei yang kembali melonjak ke 8,6% secara tahunan (yoy) hingga menyentuh rekor tertinggi sejak 41 tahun. Angka inflasi tersebut lebih tinggi dari bulan sebelumnya di April yang hanya di 8,3%.
Dengan begitu, pasar memprediksikan bahwa inflasi AS belum mencapai puncaknya.
Kedua, dari sektor perumahan pada Mei terjadi penurunan pembangunan rumah hingga 14,4%, padahal saat ini di Amerika Serikat sedang terjadi kelangkaan rumah bahkan dikatakan pada level kronis.
Ketiga, dari sektor manufaktur di wilayah Philadelpiha kembali mengalami kontraksi, pengajuan klaim tunjangan pengangguran mingguan juga lebih tinggi dari perkiraan.
Keempat, kenaikan harga yang tinggi juga membuat daya beli masyarakat AS ikut terdampak yang tercermin dari penjualan ritel yang terkontraksi 0,3% bulan Mei lalu.
Banyak pelaku pasar yang khawatir ekonomi AS akan mengalami resesi dan parahnya bisa terjadi stagflasi seperti yang dialami Paman Sam kurang lebih setengah abad lalu.
Chief Equity Strategist Quincy Krosby LPL Financial mengatakan bahwa Fed bisa saja membuat kesalahan dalam pengambilan kebijakan (policy error).
Lebih lanjut Krosby juga mengungkapkan bahwa The Fed tidak memberikan arahan yang jelas tentang kenaikan suku bunga di bulan Juli nanti, apakah dinaikkan 50 bps atau sama dengan Juni 2022 sebesar 75 bps.
Guidance yang tidak jelas dari Powell serta komentarnya tentang kondisi perekonomian yang tidak sesuai kenyataan membuat pasar pun dibuat galau dan bergerak dengan volatilitas tinggi.
Sebagai kiblat pasar keuangan dunia, wajar jika apa yang terjadi di Wall Street akan turut berdampak ke berbagai penjuru dunia termasuk Indonesia dan pasar sahamnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf/aaf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sempat Menguat di Sesi 1, IHSG Hari Ini Ditutup Melemah