Suku Bunga AS Nanjak, Sri Mulyani: Kita Harus Makin Hati-hati

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
Kamis, 16/06/2022 17:32 WIB
Foto: Ilustrasi Sri Mulyani (CNBC Indonesia/Edward Ricardo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan akan berhati-hati dalam penarikan utang melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), di tengah tingginya suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed).

Seperti diketahui, pada Kamis (16/6/2022) dini hari WIB, The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%.

Indonesia sebagai negara pengekspor komoditas unggulan seperti batubara dan kelapa sawit memperoleh keberkahan tersendiri, yang membuat penerimaan negara melonjak hingga Rp 420 triliun. Di sisi lain, kenaikan harga-harga terutama barang bersubsidi seperti pangan dan energi memiliki dampak yang sangat besar.



Dua hal itu, kata Sri Mulyani, akan terus dikelola agar tetap menjaga daya beli masyarakat, memulihkan ekonomi, dan dapat mengurangi defisit APBN.

"Penting dalam kondisi cost of fund akan naik, dengan kenaikan suku bunga The Fed dan tren di European Central Bank juga hal yang sama, keniscayaan itu pasti terjadi," jelasnya saat ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (16/6/2022).

Sri Mulyani menjelaskan akan lebih hati-hati dalam mengelola APBN, terutama dalam penarikan utang melalui SBN.

"Karena memang kenaikan inflasi di AS yang bahkan semakin meningkat, pasti akan direspons oleh policy. Di dalam berbagai kesempatan, kita menyampaikan kebijakan fiskal kita harus semakin hati-hati," jelasnya.

"Jadi, cara kita untuk melindungi APBN, melindungi ekonomi dengan mengurangi exposure dari utang dengan menurunkan defisit," kata Sri Mulyani melanjutkan.

Seperti diketahui, lewat Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 juga sudah dinyatakan defisit APBN pada 2023 harus kembali di bawah 3%. Dan diharapkan di tahun ini defisit bisa lebih rendah dari target pemerintah, 4,5% dari produk domestik bruto (PDB).

Penerimaan yang cukup kuat dan sisa lebih perhitungan anggaran (SILPA) yang besar, alasan Sri Mulyani untuk mengurangi penarikan utang dari penerbitan SBN.

"Pendanaannya karena penerimaan cukup kuat dan SILPA cukup kuat, itu bisa mengurangi issuance dari surat berharga. Sehingga dengan kenaikan suku bunga, tapi kemudian issuance kita lebih sedikit," ujarnya.

"Kita berharap debt to GDP ratio bisa kita turunkan, defisit turun, pembiayaan menjadi turun. Itu cara kita untuk mengamankan," ujarnya lagi.

Kenaikan suku bunga acuan The Fed dikhawatirkan membawa dampak risk off ke pasar obligasi domestik, dengan keluarnya investor asing (capital outflow). Namun Sri Mulyani tak begitu khawatir karena berbagai indikator fundamental ekonomi yang masih kuat, seperti ekspor dan cadangan devisa RI.

Seperti diketahui Badan Pusat Statistik melaporkan ekspor di Indonesia, nilai ekspor Indonesia pada Mei 2022 mencapai US$ 21,51 miliar, dan cadangan devisa Indonesia pada akhir Mei 2022 mencapai US$ 135,6 miliar, relatif stabil dibandingkan dengan posisi pada akhir April 2022 yang sebesar US$ 135,7 miliar.

"Kita tetap waspada, semua ini kan sedang bergerak. Jadi ya setiap saat kita akan melakukan kalibrasi dan kalibrasi dari kebijakan kita," jelas Sri Mulyani.

Kementerian Keuangan akan terus berkoordinasi dengan berbagai otoritas terutama Bank Indonesia (BI) dalam mengelola moneter dan menjaga fiskal.

"Kami di Kementerian Keuangan akan tetap menjaga supaya fundamental kita juga makin kuat, seperti tadi ekspor yang membaik, kemudian foreign direct investment bisa masuk, pertumbuhan ekonomi kita menguat, stabilitas dan inflasi kita tetap baik," kata Sri Mulyani.

"Kalau Indonesia bisa menjaga itu, maka Indonesia dalam posisi yang jauh lebih baik dan itu menyebabkan kita berbeda dengan negara-negara lain," tuturnya.



(miq/miq)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Beda Arah "Jurus" Bank Sentral Dunia Atasi Ketidakpastian Dunia