Meski Yield Treasury Mulai Melandai, Tapi Yield SBN Naik Lagi

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
Selasa, 14/06/2022 19:14 WIB
Foto: Obligasi (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBCIndonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) kembali ditutup melemah pada perdagangan Selasa (14/6/2022), di tengah cenderung melemahnya yield obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) pada hari ini.

Mayoritas investor cenderung melepas SBN pada hari ini, ditandai dengan naiknya imbal hasil (yield). Hanya SBN bertenor 3 tahun yang ramai diburu oleh investor, ditandai dengan turunnnya yield dan kenaikan harga.

Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 3 tahun turun 1,5 basis poin (bp) ke posisi 4,627% pada perdagangan hari ini. Sedangkan yield SBN bertenor 25 tahun masih stagnan di 7,538%.


Sementara untuk yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara menguat signifikan sebesar 12,3 bp ke 7,413% pada perdagangan hari ini.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Sementara itu dari AS, yield obligasi pemerintah (US Treasury) mulai mengalami penurunan pada pagi hari ini waktu AS, setelah sempat menguat pada perdagangan kemarin.

Dilansir dari CNBC International, yield Treasury tenor 10 tahun cenderung melemah 7,2 bp ke 3,299% pada pukul 07:05 waktu AS atau pukul 18:05 WIB, dari sebelumnya pada penutupan Senin kemarin di posisi 3,371%.

Namun untuk yield Treasury tenor 2 tahun cenderung naik tipis 0,1 bp ke 3,282%, dari sebelumnya pada Senin kemarin di 3,281%.

Yield Treasury tenor 2 tahun dan yield Treasury tenor 10 tahun sempat kembali mengalami inversi (inverted) pada perdagangan Senin kemarin. Namun, inversi tersebut tak berlangsung lama.

Sebelumnya pada April lalu, inversi juga sempat terjadi di Treasury tenor 2 tahun dengan Treasury tenor 10 tahun. Bahkan tak hanya itu, yield Treasury tenor 5 tahun juga sempat mengalami inversi dengan yield Treasury tenor 30 tahun pada April lalu.

Terjadinya inversi, meski hanya berlangsung sesaat saja menandakan adanya sinyal kuat akan terjadinya resesi di AS.

Berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955, ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).

Setelah rilis riset tersebut, inversi yield terjadi lagi di Amerika Serikat pada 2019 lalu yang diikuti dengan terjadinya resesi, meski juga dipengaruhi oleh pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).

Di tahun ini inversi kembali muncul. Kali ini penyebabnya inflasi yang sangat tinggi, serta bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang agresif menaikkan suku bunga.

Inflasi berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) atau consumer price index (CPI) di AS pada Mei 2022 melesat 8,6% secara tahunan (year-on-year/yoy). Inflasi tersebut naik dari bulan sebelumnya 8,3% (yoy) dan menjadi rekor tertinggi sejak 1981. Kemudian inflasi inti yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan naik 6% (yoy).

Ketika inflasi tinggi, maka daya beli masyarakat akan menurun. Konsumsi rumah tangga yang merupakan tulang punggung perekonomian akan terpukul.

Guna meredam inflasi tersebut, The Fed akan sangat agresif menaikkan suku bunga. Di akhir tahun ini, suku bunga The Fed diperkirakan berada di 2,75% - 3%.

Suku bunga berada dalam posisi netral, artinya tidak memacu pertumbuhan ekonomi tetapi juga tidak melambat diperkirakan berada di 2,5%. Artinya jika suku bunga The Fed di atas itu, maka perekonomian bisa melambat, sebab ekspansi dunia usaha dan konsumen rumah tangga akan semakin tertahan.

Seandainya dengan suku bunga tinggi inflasi masih belum melandai, maka Negeri Paman Sam terancam kembali mengalami resesi.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Modal Pasar Saham & SBN Tarik Investor Saat Iran-Israel Panas