Gempar! Pasar Keuangan Dunia Terjun Bebas, Ini Penyebabnya

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan global bergejolak kembali pada perdagangan Senin (13/6/2022), karena investor khawatir dengan meningginya kembali inflasi di Amerika Serikat (AS) pada Mei lalu.
Bahkan uniknya, baik aset berisiko maupun aset safe haven pada perdagangan kemarin secara bersamaan mengalami koreksi. Padahal jika di aset berisiko mengalami koreksi, seharusnya di aset safe haven bergerak sebaliknya.
Di aset berisiko, seperti saham dan kripto, keduanya mengalami koreksi yang cukup parah. Di bursa Asia-Pasifik saja, sebagian besar ambruk lebih dari 1% bahkan hingga lebih dari 3%. Indeks Hang Seng Hong Kong dan KOSPI Korea Selatan memimpin koreksi bursa Asia-Pasifik kemarin ini, di mana KOSPI anjlok 3,52% dan Hang Seng ambruk 3,39% ke 21.067,58.
Tak hanya Hang Seng dan KOSPI yang ambruk lebih dari 3%, indeks Nikkei Jepang juga ambruk 3,01%. Sedangkan indeks Shanghai Composite China merosot 0,89%, Straits Times Singapura ambles 1,33%, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir ambrol 1,29%.
Sedangkan di AS, tiga indeks utama di Wall Street kembali ambruk pada perdagangan Senin kemarin waktu AS. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup ambruk 2,79% ke posisi 30.516,74, S&P 500 anjlok 3,88% ke 3.749,63, dan Nasdaq Composite longsor 4,68% ke 10.809,22.
Sementara di pasar kripto, Bitcoin dan Ethereum, di mana dua koin digital (token) yang dapat menjadi acuan pasar kripto tersebut pun ikut ambruk dan menyentuh level terendahnya hingga setahun lebih.
Pada malam sekitar pukul 22:00 WIB, Bitcoin ambruk 17,5% ke posisi US$ 23.052,47 per keping atau setara dengan Rp 341.038.998 per kepingnya. Sedangkan Ethereum anjlok hingga 21,13% ke harga US$ 1.212,41 per keping atau Rp 17.899.831 per kepingnya.
Di aset safe haven, harga emas pun merosot 0,73% ke posisi harga US$ 1.857,31 per troy ons per pukul 15:40 WIB.
Tak hanya di emas saja, aset safe haven lainnya yakni obligasi pemerintah pun mengalami pelemahan harga dan kenaikan imbal hasil (yield).
Di pasar obligasi pemerintah Indonesia atau Surat Berharga Negara (SBN), yield-nya mengalami kenaikan lagi, di mana yield SBN tenor 10 tahun menguat 7 basis poin (bp) ke posisi 7,29%.
Sedangkan di AS, obligasi pemerintah (Treasury) juga kembali mengalami kenaikan. Bahkan, inversi yield yang sebelumnya pernah terjadi pada April lalu nyaris kembali terjadi pada perdagangan Senin kemarin waktu AS.
Dilansir dari CNBC International, yield Treasury jangka pendek yakni tenor 2 tahun menguat signifikan sebesar 19,4 bp ke posisi 3.243%. Sedangkan yield Treasury tenor 10 tahun yang menjadi acuan pasar juga naik signifikan 17 bp ke 3,327%.
Hal ini membuat selisih (spread) antara yield Treasury tenor 2 tahun dan yield Treasury tenor 10 tahun makin menyempit.
Lesunya pasar keuangan global terjadi setelah inflasi di AS yang jauh lebih tinggi dari perkiraan pasar pada. Mereka cenderung melepas obligasi, emas, saham, dan aset kripto serta mematahkan ekspektasi bahwa pembuat kebijakan mulai unggul dalam membatasi kenaikan harga.
Sebelumnya pada Jumat pekan lalu, inflasi dari sisi konsumen AS yakni consumer price index (CPI) pada Mei 2022 melesat 8,6% secara tahunan (year-on-year/yoy). Inflasi tersebut naik dari bulan sebelumnya 8,3% (yoy) dan menjadi rekor tertinggi sejak 1981.
Kemudian inflasi inti yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan naik 6% (yoy). Secara bulanan (month-to-month/mtm) inflasi naik 1% dan inflasi inti 0,6% (mtm). Harga energi berkontribusi besar terhadap kenaikan inflasi.
Sepanjang Mei harga energi naik 3,9% dari bulan sebelumnya. Sementara dibandingkan Mei 2021, harga energi melonjak hingga lebih dari 34%. Harga minyak mentah yang masih tinggi saat ini, ada kekhawatiran inflasi masih akan terus meninggi.
Padahal sebelumnya, pelaku pasar sudah memprediksi bahwa inflasi Negeri Paman Sam berpotensi melandai pada bulan lalu, di mana mereka melihat inflasi AS pada April lalu sedikit melandai. Tetapi nyatanya, ekspektasi pasar tersebut pun meleset.
Data inflasi terbaru yang kembali meninggi membuat pasar semakin yakin bahwa bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga secara agresif.
Mengutip CME FedWatch, peluang kenaikan Federal Funds Rate sebesar 50 basis poin (bp) menjadi 1,25-1,5% adalah 76,8%. Bahkan, kenaikan 75 bp ke 1,5%-1,75% juga masuk perhitungan dengan kemungkinan 23,2%.
"Ini terjadi terlepas dari tindakan yang sejauh ini telah diambil oleh bank sentral ... memicu kekhawatiran bahwa mereka harus bekerja lebih keras dan lebih cepat jika inflasi ingin dijinakkan, yang biayanya semakin dilihat sebagai pertumbuhan yang lebih rendah. dan berpotensi mengalami resesi," kata Stuart Cole, kepala strategi makro Equiti Capital, dikutip dari Reuters.
Kondisi inflasi yang kembali meninggi dan potensi semakin agresifnya The Fed dapat membuat perekonomian Negeri Paman Sam kembali ke jurang resesi. Hal inilah yang juga dikhawatirkan oleh pasar global kemarin.
Dengan inflasi yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda mereda dan pengujian massal baru Covid-19 di China memicu kekhawatiran penguncian yang lebih melumpuhkan dan rantai pasokan global yang tertekan. Hal ini membuat investor mengurangi eksposur mereka di aset berisiko. Tak hanya itu, mereka juga cenderung enggan masuk ke aset safe haven.
Selain inflasi di AS yang kembali meninggi, potensi pengetatan kebijakan suku bunga The Fed, dan potensi resesi di AS yang semakin besar, sentimen lainnya yang turut membebani pasar global adalah potensi diperketatnya kembali karantina wilayah (lockdown) di beberapa kota di China.
Bagi pelaku pasar di Asia, fokus utamanya adalah lockdown yang berpotensi kembali diberlakukan di China.
Pada pekan lalu, sebagian besar Shanghai kembali dikunci karena ditemukan kasus baru Covid-19 bergejala. Setidaknya orang-orang tiga wilayah dilarang bepergian selama beberapa hari guna tes massal Covid-19.
Hal itu pun kini terjadi lagi di Beijing. Pemerintah distrik Chaoyang bahkan kembali melakukan tes Covid-19 kepada para warganya, setelah penemuan sebuah kluster penularan Covid-19 di sebuah bar di wilayah Sanlitun.
Dalam sebuah keterangan, pejabat kesehatan kota mengatakan bahwa sejauh ini ada 166 kasus yang dikonfirmasi terkait dengan wabah yang dimulai di bar bernama Heaven Supermarket. Dari jumlah itu, 145 di antaranya adalah pelanggan bar.
"Saat ini, risiko penyebaran lebih lanjut masih ada. Tugas paling mendesak saat ini adalah melacak sumber cluster dan juga mengelola dan mengendalikan risiko," kata juru bicara pemerintah kota Beijing, Xu Hejian seperti dikutip Channel News Asia, Senin (13/6/2022) kemarin.
Selain pengujian massal, dua bangunan yang menampung sekitar ratusan penduduk di distrik itu juga dikunci ketat pada Minggu setelah penemuan satu kasus positif. Selain dua bangunan itu, beberapa bisnis sekitar bar tempat kluster Covid-19 terbentuk juga dikunci.
"Warga juga menerima beberapa pesan teks yang memberitahu mereka untuk melapor ke organisasi lingkungan mereka jika mereka mengunjungi bar Sanlitun baru-baru ini," ujar sebuah laporan Reuters.
China sendiri sejauh ini sedang berkutat dengan wabah terbaru Covid-19. Pemerintah Negeri Tirai Bambu itu juga masih menerapkan penguncian nol-Covid yang memungkinkan sebuah kota dikunci penuh meski hanya ada satu kasus Covid-19 di wilayah itu.
Komisi Kesehatan Nasional China mengatakan pada hari Minggu bahwa negara itu melaporkan 275 kasus covid-19 baru untuk 11 Juni, di mana 134 di antaranya bergejala dan 141 tidak menunjukkan gejala. Untuk kematian, tidak ada kasus baru.
Sementara itu, dalam data hari Sabtu, China telah mengkonfirmasi 224.781 kasus dengan gejala. Angka kematian berada di level 5.226.
"Siapa pun yang mencoba mengambil posisi terbawah dalam pertumbuhan dan pasar ekuitas China dengan dasar bahwa China 'satu dan selesai' pada penguncian adalah naif," kata Jeffrey Halley, analis pasar senior di OANDA, dilansir dari Reuters.
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Benarkah Andika Sutoro Kaya Dari Saham?
