Investor Lagi-Lagi Lepas SBN, Yield Kembali Menguat

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
Senin, 13/06/2022 19:47 WIB
Foto: Sun, Ilustrasi Oligasi

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup melemah pada perdagangan Senin (13/6/2022) awal pekan ini, meski sentimen pasar global pada hari ini cenderung mengarah negatif.

Mayoritas investor cenderung melepas SBN pada hari ini, ditandai dengan naiknya imbal hasil (yield) di hampir seluruh tenor.

Hanya SBN bertenor 25 yang cenderung stagnan di posisi 7,538% pada perdagangan hari ini, dilansir dari Refinitiv.


Sedangkan untuk yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara kembali menguat 7 basis poin (bp) ke 7,29% pada perdagangan hari ini.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Sementara itu dari Amerika Serikat (AS), yield obligasi pemerintah AS (US Treasury) semakin meninggi pada pagi hari ini waktu AS, di mana yield Treasury tenor 1 tahun hingga 30 tahun sudah berada di kisaran 3%.

Dilansir dari CNBC International, yield Treasury tenor 10 tahun cenderung menguat 8,9 bp ke 3,246% pada pukul 07:05 waktu AS atau pukul 18:05 WIB, dari sebelumnya pada penutupan Jumat pekan lalu di level 3,157%.

Bahkan, yield Treasury berjangka pendek yakni tenor 2 tahun melonjak hingga 14,8 bp ke 3,197%, dari sebelumnya pada Jumat pekan lalu di 3,049%. Yield Treasury tenor 2 tahun sangat sensitif terhadap kenaikan suku bunga, sehingga kenaikannya disebabkan karena adanya potensi kenaikan suku bunga yang cukup besar kedepannya.

Investor khawatir dengan inflasi AS yang kembali memanas pada Mei lalu. Padahal sebelumnya, investor memperkirakan bahwa inflasi periode Mei lalu cenderung melandai, di mana mereka melihat sebelumnya pada inflasi periode April. Tetapi, ekspektasi investor pun meleset.

Bahkan kini, investor memperkirakan bahwa potensi resesi di AS semakin membesar dengan meningginya kembali inflasi di Negeri Paman Sam.

Pada Mei 2022, inflasi Negeri Paman Sam tercatat 8,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Ini adalah rekor tertinggi sejak 1981.

Sedangkan secara bulanan (month-to-month/mtm) inflasi Negeri Paman Sam naik 1% dan inflasi inti 0,6% (mtm).

"Laju inflasi dalam beberapa bulan terakhir lebih 'panas' dari perkiraan. Sepertinya ini menjadi pengingat bahwa inflasi masih akan terus bersama kita dalam waktu yang lebih lama," kata Michael Sheldon, Chief Investment Officer di RDM Financial Group yang berbasis di Connecticut, seperti dikutip dari Reuters.

Harga energi berkontribusi besar terhadap kenaikan inflasi. Sepanjang Mei harga energi naik 3,9% dari bulan sebelumnya. Sementara dibandingkan Mei 2021, harga energi melonjak hingga lebih dari 34%.

Dengan harga minyak mentah yang masih tinggi saat ini, ada kekhawatiran inflasi masih akan terus meninggi. Ketika inflasi akan terus menanjak, maka konsumsi rumah tangga, salah satu tulang punggung perekonomian, berisiko terpukul.

Dengan data inflasi terbaru yang kembali melonjak, bahkan lebih besar dari periode Maret lalu, membuat pasar semakin yakin bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan kembali menaikkan suku bunga secara agresif.

Mengutip CME FedWatch, peluang kenaikan Federal Funds Rate sebesar 50 basis poin (bp) menjadi 1,25-1,5% adalah 76,8%. Bahkan, kenaikan 75 bp ke 1,5%-1,75% juga masuk perhitungan dengan kemungkinan 23,2%.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Modal Pasar Saham & SBN Tarik Investor Saat Iran-Israel Panas