Tunggu Data Cadangan Devisa, Rupiah Menguat Tipis
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) di awal perdagangan Rabu (8/6/2022) setelah melemah dalam dua hari beruntun. Indeks dolar AS yang akhirnya terkoreksi membuat rupiah mampu menguat, meski demikian pelaku pasar juga menanti rilis cadangan devisa Indonesia.
Rupiah sebenarnya membuka perdagangan dengan melemah tipis ke Rp 14.455/US$ dibandingkan penutupan perdagangan kemarin Rp 14.454/US$. Tetapi tidak lama langsung berbalik menguat 0,03% ke Rp 14.450/US$.
Meski demikian, rupiah masih sulit untuk menguat tajam, hal ini terlihat dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang justru lebih lemah pagi ini ketimbang beberapa saat setelah penutupan perdagangan kemarin.
Periode | Kurs Rabu (8/6) pukul 8:58 WIB | Kurs Selasa (7/6) pukul 15:23 WIB |
1 Pekan | Rp14.432,3 | Rp14.446,0 |
1 Bulan | Rp14.445,0 | Rp14.431,8 |
2 Bulan | Rp14.459,0 | Rp14.466,5 |
3 Bulan | Rp14.475,0 | Rp14.479,0 |
6 Bulan | Rp14.540,0 | Rp14.533,4 |
9 Bulan | Rp14.607,9 | Rp14.622,1 |
1 Tahun | Rp14.735,0 | Rp14.724,3 |
2 Tahun | Rp15.165,0 | Rp15.135,9 |
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot.
Penguatan rupiah pagi ini tidak lepas dari turunnya indeks dolar AS. Kemarin indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut awalnya menguat 0,4%, tetapi kemudian berbalik turun 0,12% ke 102,318. Pasar yang melihat kemungkinan inflasi di Amerika Serikat sudah mencapai puncak membuat indeks dolar AS berbalik turun. Ketika inflasi mencapai puncak dan mulai menurun, bank sentral AS (The Fed) kemungkinan tidak terlalu agresif menaikkan suku bunga.
"Pasar sudah menakar The Fed akan melakukan semua yang dikatakan, tetapi melihat pernyataan tersebut pasar mulai melihat inflasi sudah mencapai puncak dan akan melandai," kata Thomas Martin, portfolio manajer senior di Global Investments di Atlanta, sebagaimana dilansir Reuters.
Sementara itu dari dalam negeri, pelaku pasar saat ini menanti rilis data cadangan devisa.
Pada bulan lalu Bank Indonesia (BI) melaporkan posisi cadangan devisa per akhir Maret sebesar US$ 135,7 miliar, jeblok US$ 3,4 miliar dari bulan sebelumnya.Posisi cadangan devisa tersebut merupakan yang terendah sejak November 2020 lalu.
Cadangan devisa tersebut kemungkinan akan semakin turun, sebab rupiah mengalami tekanan pada bulan lalu. Saat kebutuhan intervensi meningkat, pemasukan devisa justru bisa merosot akibat pelarangan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya.
Presiden Joko Widodo(Jokowi) mengeluarkan kebijakan melarang ekspor CPO sejak 28 April hingga 23 Mei lalu.
CPO yang termasuk dalam ekspor HS 15 (lemak dan minyak hewani/nabati) merupakan salah satu penopang neraca perdagangan Indonesia hingga mampu mencetak surplus dalam 23 bulan beruntun. Kontribusinya terhadap total ekspor menjadi yang terbesar kedua setelah HS 27 (bahan bakar mineral) yakni batu bara.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) nilai ekspor HS 15 sepanjang kuartal I-2022 mencapai US$ 7,9 miliar mengalami kenaikan lebih dari 13% dari periode yang sama tahun lalu.
Setiap bulannya ekspor CPO dan produk turunannya tersebut berada di kisaran US$ 2,5 miliar - US$ 3 miliar. Nilai tersebut sebagian besar akan lenyap akibat larangan ekspor CPO, sehingga devisa menjadi seret.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)