
Pekan Lalu Trengginas, Rupiah Kini Kehabisan Tenaga Menguat?

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah sepanjang pekan lalu mampu mencatat penguatan nyaris 1% melawan dolar Amerika Serikat (AS). Penguatan mingguan tersebut menjadi yang terbesar di 2022, dan membawa rupiah ke level terkuat dalam 5 pekan terakhir.
Sayangnya penguatan tersebut masih belum berlanjut di awal perdagangan Senin (6/6/2022). Saat pembukaan perdagangan, rupiah langsung melemah 0,07% ke Rp 14.445/US$ di pasar spot, melansir data Refinitiv. Depresiasi rupiah berlanjut hingga menjadi 0,17% di Rp 14.460/US$ pada pukul 9:11 WIB.
Penguatan tajam yang dicatat pada pekan lalu tentunya memicu koreksi, apalagi melihat dolar AS yang kembali bertenaga sejak Jumat pekan lalu. Dari Amerika Serikat, Departemen Ketenagakerjaan AS mengumumkan perekonomian Negeri Paman Sam menciptakan 390.000 lapangan kerja non-pertanian (non-farm payroll) pada Mei 2022. Ini adalah pencapaian terendah sejak April 2021.
Meski demikian, realisasi tersebut jauh di atas ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan non-farm payroll berada di 325.000.
"Angka non-farm payroll cukup solid. Data ini menjadi penyokong untuk kenaikan suku bunga pada paruh kedua 2022," ujar Minh Trang, Senior Currency Trader di Silicon Valley Bank yang berbasis di California (AS), seperti diberitakan Reuters.
Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar kini melihat suku bunga bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) berada di kisaran 2,75% - 3% dengan probabilitas 54,6%. Ekspektasi tersebut mengalami kenaikan dari sebelumnya yang sempat berada di kisaran 2,5% - 2,75%.
Sementara itu kinerja rupiah pada pekan lalu mampu menguat tajam setelah data menunjukkan inflasi di Indonesia yang melandai. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi inti bulan Mei melambat menjadi 2,58% year-on-year (yoy), dari bulan sebelumnya 2,6% (yoy).
Inflasi inti merupakan acuan Bank Indonesia dalam menetapkan kebijakan moneter, dengan mulai melandai maka tekanan untuk menaikkan suku bunga juga tidak besar. Dengan suku bunga acuan di tahan di rekor terendah 3,5%, tentunya akan membantu pertumbuhan ekonomi.
Hal tersebut tentunya menjadi sentimen positif bagi rupiah, sebab meski bank sentral AS (The Fed) agresif menaikkan suku bunga, tetapi perekonomiannya malah terancam mengalami resesi.
Dengan momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih bisa dipertahankan, aliran modal tentunya berpeluang masuk lagi ke dalam negeri, rupiah bisa jadi bertenaga.
Sepanjang minggu lalu, investor asing membukukan beli bersih (net buy) senilai Rp 4,75 triliun. Jauh lebih baik ketimbang pekan sebelumnya yaitu net buy Rp 1,61 triliun.
Di pasar obligasi pemerintah, Bank Indonesia (BI) melaporkan terjadi net buy oleh investor asing sebesar Rp 5,94 triliun. Dengan demikian, investor asing memborong aset-aset di pasar keuangan Tanah Air lebih dari Rp 10 triliun sepanjang pekan lalu.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
