
Kehabisan Tenaga, Rupiah Melemah 3 Bulan Beruntun!

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah akhirnya menghentikan penguatan 4 hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (31/5/2022). Indeks dolar AS yang mulai stabil setelah merosot 2 pekan beruntun membuat rupiah melemah.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,05% di Rp 14.550/US$. Sempat terapresiasi ke Rp 14.530/US$, rupiah kemudian berbalik melemah nyaris menyentuh Rp 14.600/US$.
Di penutupan perdagangan rupiah berada di Rp 14.580/US$, melemah 0,18%. Sepanjang bulan Mei pelemahnya tercatat sebesar 0,59%. Mata Uang Garuda juga mencatat pelemahan 3 bulan beruntun, 0,88% di bulan April dan 0,02% Maret.
Rupiah memang kesulitan menguat pada hari ini, terlihat dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang lebih lemah sore ini ketimbang pagi tadi.
Periode | Kurs Selasa (31/5) pukul 8:56 | Kurs Selasa (31/5) pukul 15:54 WIB |
1 Pekan | Rp14.548,5 | Rp14.564,5 |
1 Bulan | Rp14.560,0 | Rp14.576,2 |
2 Bulan | Rp14.565,0 | Rp14.589,0 |
3 Bulan | Rp14.586,0 | Rp14.615,6 |
6 Bulan | Rp14.671,0 | Rp14.688,7 |
9 Bulan | Rp14.761,0 | Rp14.779,0 |
1 Tahun | Rp14.899,0 | Rp14.868,7 |
2 Tahun | Rp15.325,6 | Rp15.369,1 |
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula.Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot.
Sebelumnya rupiah sukses melaju 4 hari beruntun sejak Bank Indonesia (BI) mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Selasa pekan lalu.
Dalam pengumuman tersebut, BI masih mempertahankan suku bunga acuannya, tetapi kembali menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM). Laju kenaikan pun dipercepat.
Untuk Bank Umum Konvensional (BUK), GWM yang saat ini 5% akan naik menjadi 6% di bulan Juni, kemudian 7,5% di bulan Juli dan 9% di bulan September.
Untuk Bank Umum Syariah (BUS) yang saat ini 4% naik menjadi 4,5% di Juni, 6% di Juli dan 7,5% di September.
Ketika ditanya bagaimana arah kebijakan BI akibat selisih suku bunga dengan The Fed yang semakin menipis, Gubernur BI Perry Warjiyo menyiratkan tidak perlu merespon dengan ikut menaikkan suku bunga.
"Kalau mengukur kebijakan moneter jangan hanya mengukur suku bunga. Kebijakan moneter Bank Indonesia yakni likuiditas, kita lakukan pengurangan, kemudian nilai tukar dan yang ketiga suku bunga," kata Perry.
Perry menegaskan normalisasi kebijakan Indonesia terlebih dahulu dilakukan dengan normalisasi likuiditas dengan kenaikan GWM.
BI terlihat pede dengan stabilitas nilai tukar rupiah. Dibandingkan mata uang Asia lainnya, pelemahan rupiah memang termasuk salah satu yang terkecil.
Selain itu, fundamental Indonesia masih bagus dengan transaksi berjalan yang masih mampu mencatat surplus, berkat harga komoditas yang melambung tinggi. Kemudian, kepemilikan asing di pasar obligasi kini jauh lebih rendah, sekitar 19% dibandingkan sebelum pandemi sebesar 40%. Hal ini membuat tekanan bagi BI untuk melakukan intervensi akibat capital outflow jauh lebih rendah.
Tekanan inflasi juga kemungkinan tidak akan besar setelah pemerintah menambah subsidi.
Seperti diketahui, pemerintah akan menambah subsidi energi sebesar Rp 74,9 triliun. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga sepakat untuk menambah alokasi pembayaran kompensasi BBM dan listrik sebesar Rp 275 triliun. Kompensasi akan terbagi sebesar Rp 234 triliun untuk BBM dan listrik sebesar Rp 41 triliun.
Dengan demikian, harga BBM jenis Pertalite dan gas 3 kg kemungkinan tidak akan dinaikkan, yang bisa menjaga inflasi tidak meroket dan terkendali. Hal ini juga yang membuat BI menyatakan tekanan untuk merespon dengan kenaikan suku bunga tidak besar seperti bank sentral lain di dunia.
BI memprediksi di tahun ini inflasi akan sedikit di atas 4%, dan di tahun depan kembali turun ke bawahnya.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Beberapa Pejabat The Fed Masih Dorong Kenaikan Suku Bunga Agresif
