Kehabisan Tenaga, Rupiah Melemah 3 Bulan Beruntun!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
31 May 2022 15:13
mata uang rupiah dolar dollar Bank Mandiri
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah akhirnya menghentikan penguatan 4 hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (31/5/2022). Indeks dolar AS yang mulai stabil setelah merosot 2 pekan beruntun membuat rupiah melemah.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,05% di Rp 14.550/US$. Sempat terapresiasi ke Rp 14.530/US$, rupiah kemudian berbalik melemah nyaris menyentuh Rp 14.600/US$.

Di penutupan perdagangan rupiah berada di Rp 14.580/US$, melemah 0,18%. Sepanjang bulan Mei pelemahnya tercatat sebesar 0,59%. Mata Uang Garuda juga mencatat pelemahan 3 bulan beruntun, 0,88% di bulan April dan 0,02% Maret.

Rupiah memang kesulitan menguat pada hari ini, terlihat dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang lebih lemah sore ini ketimbang pagi tadi.

Periode

Kurs Selasa (31/5) pukul 8:56

Kurs Selasa (31/5) pukul 15:54 WIB

1 Pekan

Rp14.548,5

Rp14.564,5

1 Bulan

Rp14.560,0

Rp14.576,2

2 Bulan

Rp14.565,0

Rp14.589,0

3 Bulan

Rp14.586,0

Rp14.615,6

6 Bulan

Rp14.671,0

Rp14.688,7

9 Bulan

Rp14.761,0

Rp14.779,0

1 Tahun

Rp14.899,0

Rp14.868,7

2 Tahun

Rp15.325,6

Rp15.369,1

NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula.Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot.

Sebelumnya rupiah sukses melaju 4 hari beruntun sejak Bank Indonesia (BI) mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Selasa pekan lalu.

Dalam pengumuman tersebut, BI masih mempertahankan suku bunga acuannya, tetapi kembali menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM). Laju kenaikan pun dipercepat.
Untuk Bank Umum Konvensional (BUK), GWM yang saat ini 5% akan naik menjadi 6% di bulan Juni, kemudian 7,5% di bulan Juli dan 9% di bulan September.

Untuk Bank Umum Syariah (BUS) yang saat ini 4% naik menjadi 4,5% di Juni, 6% di Juli dan 7,5% di September.

Ketika ditanya bagaimana arah kebijakan BI akibat selisih suku bunga dengan The Fed yang semakin menipis, Gubernur BI Perry Warjiyo menyiratkan tidak perlu merespon dengan ikut menaikkan suku bunga.

"Kalau mengukur kebijakan moneter jangan hanya mengukur suku bunga. Kebijakan moneter Bank Indonesia yakni likuiditas, kita lakukan pengurangan, kemudian nilai tukar dan yang ketiga suku bunga," kata Perry.

Perry menegaskan normalisasi kebijakan Indonesia terlebih dahulu dilakukan dengan normalisasi likuiditas dengan kenaikan GWM.

BI terlihat pede dengan stabilitas nilai tukar rupiah. Dibandingkan mata uang Asia lainnya, pelemahan rupiah memang termasuk salah satu yang terkecil.

Selain itu, fundamental Indonesia masih bagus dengan transaksi berjalan yang masih mampu mencatat surplus, berkat harga komoditas yang melambung tinggi. Kemudian, kepemilikan asing di pasar obligasi kini jauh lebih rendah, sekitar 19% dibandingkan sebelum pandemi sebesar 40%. Hal ini membuat tekanan bagi BI untuk melakukan intervensi akibat capital outflow jauh lebih rendah.

Tekanan inflasi juga kemungkinan tidak akan besar setelah pemerintah menambah subsidi.

Seperti diketahui, pemerintah akan menambah subsidi energi sebesar Rp 74,9 triliun. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga sepakat untuk menambah alokasi pembayaran kompensasi BBM dan listrik sebesar Rp 275 triliun. Kompensasi akan terbagi sebesar Rp 234 triliun untuk BBM dan listrik sebesar Rp 41 triliun.

Dengan demikian, harga BBM jenis Pertalite dan gas 3 kg kemungkinan tidak akan dinaikkan, yang bisa menjaga inflasi tidak meroket dan terkendali. Hal ini juga yang membuat BI menyatakan tekanan untuk merespon dengan kenaikan suku bunga tidak besar seperti bank sentral lain di dunia.

BI memprediksi di tahun ini inflasi akan sedikit di atas 4%, dan di tahun depan kembali turun ke bawahnya.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Beberapa Pejabat The Fed Masih Dorong Kenaikan Suku Bunga Agresif

Dalam dua pekan terakhir, indeks dolar AS jeblok nyaris 3%. Kemarin, indeks dolar AS sempat kembali turun sebelum berakhir stagnan. Pergerakan yang sama terjadi pagi ini, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini turun sebelum perlahan mulai bangkit kembali.

Bank sentral AS (The Fed) yang kemungkinan tidak akan sangat agresif menaikkan suku bunga di tahun ini membuat dolar AS terus tertekan. Hal itu terungkap dari rilis notula rapat kebijakan moneter edisi Mei pada Kamis pekan lalu.

Presiden The Fed wilayah Atalanta, Raphael Bostic pada pekan lalu bahkan mengatakan ia lebih suka The Fed menghentikan sementara kenaikan suku bunga di bulan September untuk melihat dan menilai dampak kenaikan suku bunga yang sudah dilakukan terhadap inflasi dan ekonomi.

Namun, seperti biasa ada beberapa pejabat yang ingin The Fed lebih agresif lagi hingga inflasi benar-benar menunjukkan penurunan. Gubernur The Fed, Christopher Waller Senin kemarin mengatakan The Fed seharusnya lebih agresif lagi dalam menaikkan suku bunga, ia memilih untuk menaikkan sebesar 50 basis poin di setiap rapat kebijakan moneter.

"Saya mendukung kenaikan 50 basis poin di setiap rapat kebijakan moneter sampai kami melihat penurunan inflasi secara substansial. Sampai kita mencapai itu, saya tidak melihat titik di mana kita harus berhenti menaikkan suku bunga," kata Waller saat berbicara di Institute for Monetary and Financial Stability di Frankfurt Jerman, sebagaimana dilansir Reuters Senin (30/5/2022).

Waller mengatakan, ia optimistis pasar tenaga kerja mampu menahan kenaikan suku bunga, dan tidak akan ada kenaikan tingkat pengangguran yang signifikan.

Selain Waller, Presiden The Fed wilayah St. Louis James Bullard sudah lebih dulu mendukung kenaikan suku bunga yang lebih agresif. Bullard ingin agar suku bunga The Fed mencapai 3,5% di akhir tahun ini, artinya kenaikan 50 basis poin di sisa 5 pertemuan lagi di tahun ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular