
Hari Terakhir Perdagangan Mei, IHSG Sesi I Ditutup Naik 0,65%

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir menguat pada penutupan perdagangan sesi pertama Selasa (31/5/2022) seiring dengan optimisnya pelaku pasar pasca munculnya data belanja konsumsi perorangan (personal consumption expenditure/PCE).
IHSG dibuka menguat tipis 0,38% di level 7.064,23 dan berakhir menguat 0,65% atau 45,53 poin ke 7.083,09 pada penutupan perdagangan sesi pertama pukul 11:30 WIB. Nilai perdagangan tercatat naik ke Rp 9,82 triliun dengan melibatkan lebih dari 15 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 950 juta kali.
Menurut data PT Bursa Efek Indonesia (BEI), sejak perdagangan dibuka IHSG konsisten berada di zona hijau hingga penutupan perdagangan sesi pertama. Level teringgi hariannya berada di 7.093,05 pada saat menjelang penutupan sesi I dan level terendah berada di 7.033,75 sekitar pukul 09:30 WIB.
Mayoritas saham menguat yakni sebanyak 292 unit, sedangkan 230 unit lainnya melemah dan 170 sisanya stagnan. Investor asing tercatat melakukan pembelian bersih (net buy) sebesar Rp 669,57 miliar di pasar reguler pada perdagangan sesi I siang ini.
Dua saham big cap batu bara dan emiten perbankan masih menjadi saham yang mereka buru hari ini yaitu PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dengan nilai pembelian bersih masing-masing sebesar Rp 145 miliar dan Rp 142 miliar. ADRO tercatat melesat 5,23% ke Rp 3.220/unit dan BBRI naik 2,71% ke 4.550/unit.
Sebaliknya, saham yang mereka jual terutama adalah PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dan PT Bank Jago Tbk (ARTO) dengan nilai penjualan bersih masing-masing sebesar Rp 40 miliar dan 31,8 miliar. BBNI tercatat naik 0,27% ke Rp 9.225/unit sedangkan ARTO anjlok 3,84% ke Rp 8.775/unit.
Penguatan IHSG siang ini dipicu oleh pelaku pasar di bursa Amerika Serikat (AS) terpantau optimis pasca munculnya data belanja konsumsi perorangan (personal consumption expenditure/PCE) tumbuh 4,9% per April, atau melambat jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebesar 5,2%.
Rilis data tersebut seakan menjadi angin segar bagi pelaku pasar karena indeks PCE akan menjadi acuan bank sentral Amerika Serikat (AS) untuk menentukan langkah moneter mereka selanjutnya. Jika inflasi terkendali, maka langkah agresif penaikan suku bunga AS bisa dihindari.
IHSG yang bergerak volatil tak dapat di hindari. Pasalnya, pelaku pasar masih menimbang-nimbang prospek berbagai emiten di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi global yang masih dicekam akibat perang Rusia-Ukraina yang masih terjadi hingga kini dan belum ada tanda-tanda akan damai.
Faktor lain adalah pelemahan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun-yang menjadi acuan pasar ke level 2,74% pada Jumat pekan lalu. Sebelumnya, imbal hasil surat berharga negara (SBN) AS tersebut sempat menyentuh angka 3%.
Pelemahan imbal hasil akan membantu mengurangi laju koreksi saham teknologi yang dikenal 'rakus' menerbitkan obligasi untuk membiayai ekspansi mereka. Imbal hasil SBN yang rendah akan berujung pada rendahnya kupon obligasi sehingga memperlonggar profitabilitas mereka.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Market Focus: Risiko Inflasi RI Hingga THR dari Emiten