Jaya! Rupiah Menguat 4 Hari Beruntun Lawan Dolar AS

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
30 May 2022 15:13
rupiah melemah terhadap Dollar
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah masih melanjutkan tren penguatan melawan dolar Amerika Serikat (AS). Hingga perdagangan Senin (30/5/2022), rupiah menguat 4 hari beruntun.

Jebloknya indeks dolar AS membuat mata uang Garuda melesat 0,48% ke Rp 14.505/US$ di pembukaan perdagangan. Sayangnya, rupiah gagal mempertebal apresiasi, malah sebaliknya terus terpangkas hingga mengakhiri perdagangan di Rp 14.557/US$, atau menguat 0,12%.

Indeks dolar AS yang sebelumnya berada di level terkuat dalam dua dekade terakhir berbalik merosot dalam dua pekan beruntun, nyaris sebesar 3%. Kemungkinan The Fed tidak akan terlalu agresif di tahun ini menjadi penyebabnya.

Dalam notula rapat kebijakan moneter The Fed yang dirilis pekan lalu terungkap terungkap para pejabat The Fed sepakat untuk menaikkan suku bunga 50 basis poin di bulan Juli dan Juli. Mereka melihat jika suku bunga segera dinaikkan, maka di sisa tahun ini The Fed akan berada di posisi yang bagus untuk menilai efek dari kenaikan suku bunga tersebut.

Artinya, ada peluang The Fed akan menunda kenaikan suku bunga untuk sementara setelah menaikkan 50 basis poin di bulan Juni dan Juli.

"Pasar mulai sedikit optimistis The Fed tidak akan terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga, dan beberapa aksi jual yang melanda aset berisiko, khususnya saham, mungkin telah berakhir. Hal itu memicu sedikit reli aset berisiko yang berdampak buruk bagi dolar AS," kata Ed Moya, analis senior di Oanda, sebagaimana dilansir Reuters, Kamis (26/5/2022).

Pasca rilis notula tersebut, pasar kini melihat di akhir tahun suku bunga The Fed berada 2,5% - 2,75%. Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, probabilitasnya sebesar 58,8%, padahal pada pekan lalu ekspektasi suku bunga di 2,75% - 3% menjadi yang tertinggi probabiitasnya.

idrFoto: CME Group

"Itu bukan skenario dasar tim ekonomi kami, tetapi kami pikir ada peluang The Fed akan mengerek suku bunga hingga 1,75% - 2% yang merupakan kebijakan normal dan memberi peluang untuk menghentikan sementara kenaikan suku bunga dan menilai terlebih dahulu dampak kebijakannya terhadap pasar tenaga kerja dan inflasi," kata ahli strategi JP Morgan, sebagaimana dilansir Reuters, Kamis (26/5/2022).

Alhasil, indeks dolar AS pun terus menurun

"Dolar AS kehilangan puncak akibat pandangan The Fed akan menunda kenaikan suku bunga," kata Joe Manimbo, analis pasar senior di Western Union Business Solutions, sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (27/5/2022).

Selain itu, inflasi di Amerika Serikat juga mulai menunjukkan tanda-tanda melandai. Inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) di bulan April tumbuh 0,2% dari bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Meski masih menanjak, tetapi kenaikan tersebut menjadi yang terkecil sejak November 2020, dan jauh di bawah kenaikan bulan Maret sebesar 6,3%.

Jika dilihat secara tahunan (year-on-year/yoy) inflasi PCE sudah menurun di bulan April, sebesar 6,3% (yoy) dari bulan sebelumnya 6,6% (yoy). Hal tersebut memperkuat ekspektasi The Fed tidak akan sangat agresif di tahun ini.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> BI Beri Efek Positif ke Pasar

Selain jebloknya dolar AS, rupiah terus mengalami penguatan semenjak Bank Indonesia (BI) mengumumkan kebijakan monter pada Selasa (24/5/2022) pekan lalu.
Sesuai ekspektasi, BI mempertahankan suku bunga acuannya.

"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada23-24April 2022memutuskan untuk mempertahankan BI7-Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%," sebut Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers secara virtual.

BI tidak mengambil langkah menaikkan suku bunga seperti bank sentral lainnya di berbagai negara, bahkan dengan sangat agresif guna meredam 'tsunami' inflasi. Di Indonesia sendiri inflasi sudah mulai menanjak, tetapi masih dalam rentang target bank sentral.

Meski demikian, BI juga mengambil langkah-langkah guna menjaga stabilitas rupiah, yakni mempercepat normalisasi kebijakan likuiditas dengan menaikkan GWM secara bertahap.

Sebelumnya di awal tahun ini, BI berencana mengerek GWM Pada Maret (100 basis poin), Juni (100 basis poin) dan September (50 basis poin), untuk bank umum konvensional (BUK) menjadi 6,5%

Dan untuk bank umum syariah (BUS) di September GWM menjadi 5%, dengan kenaikan masing-masing 50 basis poin.

BI kemudian mempercepat dan menaikkan lagi GWM. Untuk BUK, GWM yang saat ini 5% akan naik menjadi 6% di bulan Juni, kemudian 7,5% di bulan Juli dan 9% di bulan September.

Untuk BUS yang saat ini 4% naik menjadi 4,5% di Juni, 6% di Juli dan 7,5% di September.

Kenaikan tersebut diperkirakan akan menyerap likuiditas di perekonomian sebesar Rp 110 triliun, tetapi tidak menurunkan kemampuan perbankan menyalurkan kredit, sehingga momentum pertumbuhan ekonomi masih terjaga.

"Secara keseluruhan ini memang dengan kenaikan GWM ini akan mengurangi likuiditas di perbankan sekitar Rp 110 triliun, namun rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masih tinggi sekira 28% sampai akhir tahun ini, msh jauh di atas rasio sebelum pandemi Covid yang sebesar 21%," jelas Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Selasa (24/5/2022).

Penyerapan likuiditas tersebut diharapkan mampu membuat rupiah lebih stabil. Rupiah yang mulai kembali menguat menjadi sinyal kebijakan BI bisa direspon positif oleh pasar.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular