Bank Sentral Rusia Agresif Babat Suku Bunga, Ada Apa?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
Senin, 30/05/2022 18:25 WIB
Foto: Orang-orang berjalan melewati kantor pusat Bank Sentral di Moskow, Rusia (11/2/2019). (REUTERS/Maxim Shemetov)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Rusia (Central Bank of Russia/CBR) kembali mengambil langkah agresif. Kali ini tidak menaikkan suku bunga, tetapi sebaliknya dipangkas 3 kali beruntun.

Tidak tanggung-tanggung, CBR membabat suku bunganya hingga 900 basis poin menjadi 11%. Dalam pengumuman kebijakan moneter yang dilakukan Kamis (26/5/2022), CBR memangkas suku bunga sebesar 300 basis poin, menyusul dua pemangkasan sebelumnya dengan besar yang sama.

Inflasi yang mulai melambat serta perekonomian yang menuju kontraksi membuat CBR langsung memutar arah suku bunganya.


Seperti diketahui, pada bulan Maret lalu CBR menaikkan suku bunga menjadi 20% dari sebelumnya 9,5%. Langkah tersebut diambil setelah nilai tukar rubel Rusia jeblok hingga lebih dari 100% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke rekor terlemah sepanjang sejarah RUB 150/US$. Hal itu terjadi akibat perang Rusia - Ukraina, hingga sanksi yang berikan negara-negara Barat.

Setelah CBR mengerek suku bunga, rubel perlahan bangkit, bahkan menjadi mata uang terbaik di dunia dalam beberapa pekan terakhir dengan penguatannya mencapai 20% dan berada di level terkuat dalam 4 tahun terakhir. Penguatan tersebut dipicu kebijakan capital control yang diterapkan pemerintah Rusia, serta pembayaran gas dan minyak mentah yang diwajibkan menggunakan rubel ke beberapa negara pengimpornya.

Rubel yang sudah kuat membuat inflasi mulai melandai. Pada 20 Mei lalu, inflasi dilaporkan sebesar 17,51%, sedikit turun dari laporan sepekan sebelumnya 17,69%.
Gubernur CBR, Elvira Nabiullina sebagaimana dilansir Reuters mengatakan jika risiko inflasi mulai mereda, tetapi memperingatkan perekonomian memasuki periode transformasi secara struktural dan perbankan membutuhkan dukungan modal.

Rubel yang terlalu kuat memberikan masalah bagi ekspor Rusia, pendapatan negara akan semakin seret. Selain itu, suku bunga yang sangat tinggi suku bunga kredit melambung tinggi yang menghambat ekspansi dunia usaha. Sehingga, pelemahan rubel kini diperlukan untuk membantu perekonomian.

Selain itu, Nabiullina mengatakan nilai tukar rubel yang berbalik menguat memberikan dampak signifikan terhadap meredanya tekanan inflasi.

"Berkat rubel yang menguat, inflasi menjadi turun lebih cepat dari yanh kami perkirakan. Ini memungkinkan kamu untuk menurunkan suku bunga tanpa memicu kenaikan inflasi yang baru," kata Nabiullina, sebagaimana dilansir Reuters.

Ia juga menyatakan masih ada ruang untuk kembali menurunkan suku bunga. 

"Kami membuka kemungkinan suku bunga kembali diturunkan dalam rapat kebijakan moneter selanjutnya," tegas Nabiullina. 

Rubel pada pekan lalu jeblok hingga lebih dari 7% melawan dolar AS, salah satunya akibat penurunan suku bunga, serta pelonggaran kebijakan capital control. Presiden Rusia, Vladimir Putin memutuskan perusahaan Rusia kini wajib mengkonversi valuta asingnya sebanyak 50%, berkurang dari sebelumnya 80%.

Meski jeblok lebih dari 7%, sepanjang tahun ini rubel masih tercatat menguat sekitar 12%, sehingga dikatakan tidak akan memicu inflasi lagi.

Nabiullina memperkirakan inflasi akan melandai hingga mencapai 5% - 7% di tahun 2023, dan mencapai target 4% di tahun 2024.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Sederet Modal Bisnis Hotel, Mal & Rumah Genjot Penjualan 2025