Demi Tekan Inflasi, Suku Bunga Acuan Harus Dipertahankan

Eqqi Syahputra, CNBC Indonesia
24 May 2022 10:34
BRI
Foto: Dok BRI

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi Covid-19 menyisakan tugas besar bagi perekonomian dunia dalam pemulihan ekonominya. Kebijakan pembatasan yang dilakukan banyak negara di masa pandemi Covid-19 menyebabkan gangguan rantai pasok sampai saat ini.

Chief Economist Bank Rakyat Indonesia (BRI) Anton Hendranata mengatakan suplai barang dan jasa belum pulih sepenuhnya terutama harga energi dan pangan. Perang Rusia-Ukrania pun semakin menambah tekanan pada harga energi dan pangan karena menjadi salah satu negara dengan kontribusi tinggi untuk minyak, gas, dan gandum.

"Kondisi ini menyebabkan inflasi naik signifikan dan jauh dari perkiraan di dunia. Inflasi tinggi yang terus menurus dikuatirkan akan mengerem pertumbuhan ekonomi dunia secara signifikan, bahkan bisa menyebabkan resesi ekonomi atau stagflasi," kata Anton dalam siaran resmi, Selasa (24/5/2022).

Dia mengungkapkan Indonesia juga mengalami tekanan inflasi seperti banyak negara lain. Meski demikian catatan inflasi Indonesia tidak seburuk negara lain yang sangat responsif terhadap kenaikan harga komoditas, terutama harga energi dan pangan.

Hingga saat ini inflasi Indonesia sekitar 3,47% yoy pada April 2022 dari 2,64% yoy pada Maret 22. Tingkat inflasi yang jauh lebih rendah dibandingkan AS yang tercatat 8,3% yoy atau negara lainnya.

Dia menilai tren inflasi yang terus merangkak naik harus segera dicegah supaya tidak berlari kencang, dan tidak terkendali. Jika inflasi tinggi secara berlebihan maka akan memukul daya beli masyarakat, yang bisa sangat mengganggu pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Padahal konsumsi merupakan nyawa atau motor utama penggerak perekonomian Indonesia.

"Saya kira keputusan pemerintah untuk menaikkan subsidi energi sekitar Rp 74,9 triliun dan menaikkan kompensasi BBM dan listrik sebesar Rp 275,0 triliun harus disambut dengan baik. Kebijakan ini memberikan sinyal bahwa tekanan terhadap harga energi, harga BBM, dan tarif listrik sudah diminimalisasi oleh pemerintah," jelasnya.

Artinya tekanan inflasi Indonesia, seharusnya tidak sebesar negara yang memberlakukan harga pasar untuk harga energi, BBM, dan tarif listriknya. Anton mengatakan hal ini pun bisa meredam ekspektasi inflasi ke depannya, yang biasanya cenderung bergerak liar.

"Sejalan dengan upaya pemerintah menekan laju inflasi, ada baiknya BI mempertahankan suku bunga acuannya pada bulan ini, yaitu 3,50%. Pada saat ini saya kira pelemahan Rupiah masih dalam taraf manageable karena penguatan dolar Amerika Serikat terhadap sebagian besar mata uang di dunia," kata Anton.

Dengan cadangan devisa yang masih tinggi sekitar US$ 135,6 miliar atau 6,9 bulan impor, jauh di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Dengan begitu, dia menilai ruang BI untuk menaikkan suku bunga acuannya, tidak perlu seagresif negara lain pada tahun ini.

Anton menambahkan untuk mengatasi inflasi tinggi ini, banyak negara sudah menaikkan suku bunga acuannya. Bank Sentral AS sudah menaikkan suku bunga acuannya dua kali yaitu 25 bps pada Maret dan 50 bps pada Mei-22.

Diperkirakan sampai akhir tahun suku bunga acuan AS akan naik lagi sekitar 100 bps. Ini artinya Bank Sentral AS menaikkan suku bunga acuannya sebesar 175bps (1,75%), sehingga bunga acuan AS sekitar 2,00% pada 2022 dari 0,25% pada 2021.

"Saya kira ini kenaikan yang sangat agresif dan speed yang cepat dalam sejarah perekonomian AS, mengingat inflasi yang tak terkendali di AS, tercatat 8,3%yoy pada April 2022," tambahnya.


(rah/rah)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Top! BRI Cetak Laba Bersih Rp 60,4 Triliun di 2023

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular