
Meski Yield Treasury AS Mulai Turun, Yield SBN Masih Menguat

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup melemah pada perdagangan Selasa (10/5/2022), di tengah cenderung melemahnya imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) pada hari ini.
Mayoritas investor kembali melepas SBN pada hari ini, ditandai dengan menguatnya imbal hasil (yield) di hampir seluruh tenor SBN acuan. Hanya SBN tenor 1 tahun yang ramai diburu oleh investor ditandai dengan penguatan harga dan penurunan yield.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 1 tahun turun 2,8 basis poin (bp) ke level 4,619% pada perdagangan hari ini.
Sementara untuk yield SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara kembali menguat 16 bp ke level 7,33%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Dari AS, yield obligasi pemerintah (US Treasury) cenderung melemah pada hari ini, meski masih berada di level tinggi.
Dilansir dari CNBC International, yield Treasury tenor 10 tahun turun 5,3 bp ke level 3,026%, dari sebelumnya pada penutupan perdagangan Senin kemarin di level 3,079%.
Sebelumnya, yield Treasury tenor 10 tahun sempat menyentuh kisaran level 3,17% pada awal perdagangan Senin kemarin waktu AS, di mana level ini menjadi yang tertinggi sejak November 2018.
Di lain sisi, pasar saham global juga mengalami aksi jual di sesi sebelumnya, dengan indeks S&P 500 AS jatuh ke level terendah dalam lebih dari setahun.
Volatilitas di kedua pasar keuangan AS tersebut dalam beberapa hari terakhir disebabkan dari kebijakan moneter AS. Bank sentral Paman Sam (Federal Reserve/The Fed) pada pekan lalu menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin (bp).
Kini target suku bunga AS berada di kisaran 0,75-1,00%. Kenaikan drastis suku bunga acuan membuat imbal hasil (yield) surat utang pemerintahnya naik signifikan.
Ketika yield naik berarti harga obligasi sedang tertekan. Investor cenderung memilih aset-aset dengan durasi pendek dan melepas aset dengan horison investasi jangka panjang.
Hal inilah yang memicu saham-saham teknologi babak belur di sepanjang tahun 2022 ini. Pelaku pasar pun memperkirakan volatilitas masih akan berlangsung hingga beberapa hari ke depan.
"Kami perkirakan pasar masih akan bergerak volatil dengan kecenderungan adanya downside risk seiring dengan risiko stagflasi yang meningkat," tulis Maneesh Despande dari Barclays sebagaimana diwartakan CNBC International.
Sebagai informasi, stagflasi adalah kondisi ketika perekonomian suatu negara mengalami inflasi dan tingkat pengangguran yang tinggi, serta dibarengi dengan ekonomi yang melambat dan adanya resesi.
Stagflasi pernah terjadi di AS pada tahun 1970-an. Pemicu stagflasi kala itu juga sama yaitu harga minyak dan energi yang melambung karena tensi geopolitik yang meningkat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasar SBN Masih Diburu Investor, Yieldnya Turun Lagi